Mantan Menteri Kesehatan terpilih Endang Rahayu Setyaningsih adalah staf Departemen Kesehatan, yang paling ‘dekat’ dengan Namru (The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut.
Endang
adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia tahun 1979, dan memperoleh gelar master dan dokter dari
Harvard School of Public Health, Boston, masing-masing tahun 1992 dan
1997. Ia menjalani karier di bidang kesehatan dengan menjadi dokter
puskesmas di NTT dan pernah menjadi dokter di Rumah Sakit Pusat
Pertamina. Ia juga pernah ditugaskan di Kanwil Departemen Kesehatan DKI
Jakarta menjadi seorang peneliti, dan pernah menjabat Kepala Litbang
Biomedik dan Farmasi Departemen Kesehatan.
Mantan Menkes : Alm.Endang Rahayu Setyaningsih |
“Dia
(Endang) adalah mantan pegawai Namru. Dia memang sekarang ini tidak
mempunyai jabatan khusus sebagai peneliti biasa,” kata Menteri
Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam perbincangan dengan TvOne, Rabu, 21
Oktober 2009.
Dipilihnya Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai menteri kesehatan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II membuat kaget Siti Fadilah Supari. Siti yang masih menjabat Menkes hingga pelantikan menteri baru Kamis besok, tidak habis pikir, kenapa Endang yang terpilih.
“Semua juga kaget, ternyata, kok bisa dia. Dia itu eselon II dan tidak punya jabatan,”
kata Siti dalam perbincangan dengan tvOne setelah Yudhoyono mengumumkan
susunan KIB II, Rabu 21 Oktober 2009. Menurut Siti Fadilah, Endang memang lulusan dari Amerika Serikat. Siti melanjutkan, Endang dikenal sebagai staf Departemen Kesehatan yang ‘dekat’ dengan Namru. “Ibu Endang ini adalah orang yang paling dekat dengan Namru diantara dengan semua pegawai Depkes,” ujar Siti Fadilah.
Meski
pun bekerja di Depkes, kata dia, pekerjaan sehari-hari Endang hanya di
laboratorium. “Tapi disertasinya di masyarakat. Dia tidak punya
pengalaman di puskermas. Tapi saya melihat kecerdasannya,” kata Siti.
Maka itu, Siti Fadilah berharap untuk periode mendatang, Endang
Setyaningsih dapat mengikuti kebijakan yang sudah diambil sebelumnya.
“Dimana Namru, sudah secara resmi sudah tutup. dan saya mohon, ini jangan dibuka lagi,” ujar dia. (sumber berita)
Munculnya nama Endang Rahayu Sedyaningsih di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II, Rabu (21/10), memunculkan tudingan dia terlalu pro Amerika Serikat.
Tetapi hal itu dibantah oleh mantan staf peneliti Namru 2 itu. Endang
mengakui bahwa semasa Menkes Siti Fadhilah Supari, dia sempat diskors
karena dianggap berpihak kepada AS dalam soal virus flu burung.
“Bagi saya ini persoalan yang tidak penting-penting amat. Dan ini
wajar kalau atasan tidak senang kemudian menskors bawahannya,” kata
Endang dalam wawancara dengan Media Indonesia, Rabu (21/10) malam. (sumber)
Ada apa dengan NAMRU 2?
Ada apa dengan NAMRU 2?
Dalam Lembar Fakta tentang NAMRU-2 yang ada di situs Kedubes Amerika Serikat dinyatakan bahwa Naval Medical Research Unit No. 2 (NAMRU-2)
adalah sebuah laboratorium penelitian biomedis yang meneliti
penyakit menular demi kepentingan bersama Amerika Serikat, Departemen
Kesehatan RI, dan komunitas kesehatan umum internasional. NAMRU-2
didirikan pada tahun 1970 sesuai permintaan Departemen Kesehatan RI.
Kegiatan
penelitian bersama ini menitikberatkan pada malaria, penyakit akibat
virus seperti demam berdarah, infeksi usus yang mengakibatkan diare dan
penyakit menular lainnya termasuk flu burung. Penelitian NAMRU-2 hanya
berhubungan dengan penyakit-penyakit tropis yang terjadi secara
alamiah.
Laboratorium
Namru berada di kompleks Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan di Jalan Percetakan Negara, Jakarta.
Kenapa NAMRU bisa bercokol begitu lama di Indonesia???
Apa yang mereka cari di negara kepulauan ini, dan apa manfaat kehadiran mereka bagi Indonesia???
Dan, kenapa lembaga dari Amerika Serikat ini terkesan begitu misterius???
Banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab mengenai lembaga riset ini. Dan aku berani memastikan, tak satu pun wartawan di Indonesia memiliki akses ke lembaga ini; malahan mungkin mereka pun tak pernah tahu keberadaan NAMRU.
Setelah
virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari
negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga
mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Siti Fadilah
Supari telah melarang semua rumah sakit di Indonesia untuk mengirimkan
sampel virus flu burung ke laboratorium Namru. Sebab, kontrak
kerjasama dengan Namru telah berakhir sejak Desember 2005.
Pakar
intelijen Laksamana Muda (Purn) Subardo tetap meyakini keberadaan
laboratorium medis milik angkatan laut AS, The U.S. Naval Medical
Research Unit Two (NAMRU-2) merupakan alat intelijen AS. Hal ini
diyakini Subardo berdasarkan penilaiannya selama lebih dari 30 tahun
bekerja di bidang intelijen serta pernah menjabat sebagai Kepala
Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) tahun 1986-1998.
“Kalau
saya pribadi yakin itu ada motif intelijen dari Amerika. Saya kan
kerja di bidang intelijen ini sejak Letnan hingga Bintang Dua (laksmana
muda). Lebih dari 30 tahun,” kata Subardo di sela-sela Seminar Hari Kesadaran Keamanan Informasi (HKKI) di Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta, Jumat (25/4/2008).
Meski
meyakini keberadaan NAMRU-2 terkait operasi intelijen milik AS,
Subardo, mengaku dirinya tidak lagi mempunyai wewenang menangani
persoalan tersebut. Dirinya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah
khususnya melalui Badan Intelijen Negara (BIN).
“Saya
tidak punya wewenang lagi. Itu urusannya pemerintah dan BIN. Saya
hanya mengungkapkan ini agar kita lebih waspada, sebab penyadapan
informasi melalui intelijen ada di mana-mana,” tegasnya.
Menurut
dia kesadaran akan keamanan informasi di Indonesia sampai saat ini
masih cukup lemah. Hal ini terbukti dari laporan Lemsaneg beberapa
waktu lalu yang menemukan bukti dari 28 kantor Kedubes Indonesia di
Luar Negeri, sebanyak 16 diantaranya telah disadap sehingga harus
dilakukan pembersihan dan pembenahan. Kasus ini menurutnya sebagai
preseden buruk bagi Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menjaga
keamanan informasi.
“Sekitar
16 kedubes yang disadap di luar negeri. Jelas hal itu sebagai preseden
buruk agar kita lebih berhati-hati melakukan pengamanan, khususnya
informasi,” imbuhnya. (sumber detiknews)
Kontroversi
keberadaan Naval Medical Research Unit 2 (Namru-2) di Indonesia
rampung sudah. Tercatat sejak 16 Oktober 2009, Namru-2 sudah tidak
beroperasi lagi.
“Surat
resmi penghentian kerjasama dengan Namru resmi dilayangkan dubes AS di
Indonesia tanggal 16 Oktober kemarin. Jadi perjanjian yang diawali 16
Januari 1970 sudah resmi berakhir 16 Oktober kemarin,” ujar mantan
Menkes Siti Fadilah Supari kepada wartawan di Jakarta, Rabu
(21/10/2009). Siti Fadilah mengatakan dirinya keberadaan Namru-2
mengganggu kedaulatan Indonesia. Sebab, pusat penelitian itu meneliti
virus yang dilakukan Angkatan Laut AS.
“Saya
tidak akan rela kalau di wilayah yang berdaulat ini ada penelitian
tapi ada militernya, tapi kok tidak jelas. Mudah-mudahan tidak terjadi
lagi,” harapnya..
Oleh karena itu Siti Fadilah berharap pada penerusnya, Endang Rahayu Edyaningsih, agar tidak membuka lagi Namru-2. Dia yakin Endang bisa melanjutkan kebijakannya tersebut. “Saya kira Ibu Endang bisa mengikuti langkah-langkah yang telah kita ambil pada periode ini, di mana Namru sudah secara resmi ditutup, dan saya mohon jangan dibuka lagi,” katanya. (sumber)
Saatnya Dunia Berubah
Bagi
Anda yang masih percaya akan adanya nasionalisme dan keadilan global
dalam hubungan internasional maka wajib hukumnya untuk membeli buku ini.
Buku ini sebenarnya catatan harian dari Ibu Menteri Siti Fadilah
Supari ketika memperjuangkan transparansi dan keadilan dalam organisasi
kesehatan dunia, WHO (World Health Organization). Ceritanya
berawal ketika banyak negara (termasuk Indonesia) dilanda bencana virus
Flu Burung. WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu
Burung untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka. Namun
anehnya, hasil penelitian dari virus tidak diberikan kepada negara
penderita (affected countries). Tiba-tiba vaksinnya sudah ada dan dijual secara komersial. Vietnam,
contohnya, memiliki banyak penderita penyakit Flu Burung. Vietnam pun
memberikan sampel virusnya ke WHO. Tidak ada vaksin yang didapat malah terpaksa untuk membeli vaksin Flu Burung dari salah satu perusahaan farmasi AS dengan harga mahal. Darimana vaksin itu berasal kalau bukan dari sampel virus flu burung Vietna.Ibu
Menteri mencium aroma kapitalistik dari negara-negara maju, sebut
saja, Amerika Serikat. Jelas saja ini akan sangat merugikan Indonesia
dan negara-negara berkembang lainnya apabila memberikan virus Flu
Burung namun tidak mendapatkan vaksinnya. Ada dugaan kalau WHO justru
menjual kembali virus itu kepada perusahaan farmasi AS untuk dibuatkan
vaksinnya yang akan dijual secara komersial kepada negara-negara yang
menderita pandemi Flu Burung. Hal ini semakin jelas ketika pihak WHO
yang diwakili Dr. Heyman mendatangi Ibu Menteri Kesehatan memaksa Ibu
Siti Fadilah untuk memberikan sampel virus Flu Burung Indonesia kepada
WHO. Dari hasil sebuah penelitian, virus Flu Burung ala Indonesia
memiliki tingkat keganasan yang sangat tinggi. Vaksin flu burung yang
sudah ada waktu itu tidak mampu mengatasi virus Flu Burung ala
Indonesia. Ibu Menteri Kesehatan menyadari bahwa virus Flu Burung ala
Indonesia yang sangat dibutuhkan WHO adalah sebuah bargaining power
untuk mereformasi WHO yang tidak adil dan menguntungkan AS saja.
Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.
Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.
Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico, AS.
Dimulailah pertarungan antara Daud dan Goliat.
Daud yang diwakili Menteri Kesehatan RI melawan Goliat yang diwakili
WHO dan AS. Sangat seru membaca bagaimana Ibu Menteri Kesehatan
berjuang menghadapi perwakilan WHO yang sangat ngotot meminta RI
memberikan virus Flu Burung tanpa syarat. Meskipun berlatar belakang
dokter, Ibu Menteri berusaha belajar bagaimana berdiplomasi multilateral
di tingkat organisasi internasional. Untunglah DEPLU RI bersedia
membantu Ibu Siti Fadilah dalam menggalang dukungan dari negara lain
untuk proposal Indonesia. Bu Siti Fadilah pun cukup lihai dalam
menggunakan media internasional untuk menyudutkan WHO dan AS. Beberapa
kali media internasional seperti The Economist, Guardian mendukung dan
memuji perjuangan Ibu Siti Fadilah. Anehnya, media nasional dan anggota
DPR justru mencaci maki gerakan ini (mungkin karena keterbatasan
informasi dan sibuk buat “UUD“).
Fadilah
tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA
virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu.
Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim
data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan
Los Alamos, memujinya.
Majalah
The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi
transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO
CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia
juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus
yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang
imperialistik dan membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak
sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian,
namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di
Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di
akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.
Sangat
seru membaca dialog-dialog antara Ibu Siti Fadilah dengan
pejabat-pejabat WHO seperti David Heyman dan Margareth Chan. Terjadi
beberapa kali pertemuan menegangkan antara Ibu Siti Fadilah Supari
dengan WHO. Bahkan, pejabat-pejabat senior AS sendiri sempat bertemu
dua kali dengan Ibu Siti Fadilah membujuk Ibu Siti Fadilah membatalkan
niat Indonesia untuk mereformasi WHO. Meskipun berdarah Jawa, bagi saya Ibu Siti Fadilah ini orang Batak tulen.
Tidak ada basa-basi, langsung menusuk ke inti persoalan. Bahkan ketika
memberikan pidato di depan majelis sidang World Health Assembly, Ibu
Siti Fadilah tidak sungkan menuduh pabrik farmasi AS dapat membuat
senjata biologi melalui virus Flu Burung ini. Telinga pejabat AS pun
panas mendengar hal ini. Ibu Siti Fadilah pun sangat tegar dalam prinsip
dengan cerdas mencari solusi permasalahan. Dalam beberapa sidang,
deadlock hampir terjadi. Pak Makarim Wibisono, duta besar Indonesia
untuk PBB pun sempat menyerah terhadap situasi sidang. Tetapi Ibu Siti
Fadilah tetap tegar dengan mencari berbagai senjata ampuh untuk
menaklukkan AS. Dan akhirnya ketemu satu senjata ampuh untuk tidak
terjadi deadlock!
Menarik juga untuk mengikuti sisi religius dari perjuangan reformasi WHO ini. Ketika ketika terjadi
keterlambatan penerbangan dari Iran ke Jenewa, Ibu Siti Fadilah hampir
tidak bisa mengikuti proses sidang World Health Assembly yang
menentukan apakah agenda Indonesia diluluskan atau tidak. Tapi
untungnya, sidang WHO pun terlambat sehingga Ibu Siti Fadilah dapat
menyampaikan pidatonya untuk meyakinkan proposal Indonesia. Ada satu
kejadian seru lagi dimana ketika memasuki persidangan, agenda Indonesia tidak mendapat satupun dukungan (co-sponsorship) dari negara-negara anggota WHO.
Namun menjelang detik-detik akhir, Iran datang dan menandatangi co-sponsorship dan membantu mencarikan dukungan dari negara-negara muslim dan sosialis. Indonesia akhirnya didukung oleh semua negara anggota WHO dan tidak ada yang mendukung AS. Luar biasa! Ibu Siti Fadilah sangat yakin kalau Tuhan yang Maha Kuasa berada di balik perjuangannya.
Namun menjelang detik-detik akhir, Iran datang dan menandatangi co-sponsorship dan membantu mencarikan dukungan dari negara-negara muslim dan sosialis. Indonesia akhirnya didukung oleh semua negara anggota WHO dan tidak ada yang mendukung AS. Luar biasa! Ibu Siti Fadilah sangat yakin kalau Tuhan yang Maha Kuasa berada di balik perjuangannya.
Bagi
yang penasaran dan ingin mengetahui bagaimana AS melalui WHO berupaya
membujuk Indonesia membatalkan rencana reformasi WHO, segeralah membeli
buku It’s Time for the World to Change. ini.
Akan terlihat sangat nyata bahwa AS di berbagai arena internasional
memiliki segudang pengaruh untuk merealisasikan kepentingan negaranya.
Entah melalui pemberian uang, bantuan atau bahkan sanksi. Saya sungguh
menikmati buku ini, bahkan beberapa kali saya merinding ketika membaca
buku ini. Rupanya masih ada satu kejadian dimana kapitalisme egoistik global yang biasanya memangsa negara berkembang bisa dipadamkan oleh seorang pejabat senior di Republik Indonesia. Terima kasih Ibu Siti Fadilah Supari atas perjuangannya! (sumber artikel)
Berikut adalah kutipan dari berbagai pihak dan media terhadap buku dan perjuangan yang dilakukan oleh Siti Fadilah :
- “Keberhasilan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mereformasi WHO adalah contoh sangat bagus keberhasilan perjuangan berdiplomasi kelas dunia secara modern.” Prof. Dr. Juwono Soedarsono, Menteri Pertahanan Indonesia.
- “For the sake of basic human interests, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed bu anyone”. With those words, spoken on August, 3rd, Siti Fadilah Supari started a revolution that could yet save the world from the ravages of a pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency. The Economist, London (UK), August 10th, 2006 (sumber).
Konspirasi
tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari
kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. “Saya
mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan
menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di
Jakarta, Kamis (21/2).
Situs berita Australia, The
Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO
berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian
H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.
“Kegerahan
itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon (silahkan
saja). Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin
gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menindas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya” ujarnya.
Fadilah
mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000
eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total
sebanyak 2.000 buku. “Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu
dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau
cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya
sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.
Selain
mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950,
mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. “Saya sedang menulis
jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana
pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya
dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus
yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George
Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan
ini.
Siti enggan berkomentar tentang permintaan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari
peredaran. “Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia,
sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi
dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari
mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.
Pemerintah
AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata
berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182
halaman itu. *ahahahhaaaa....
Apa yang dikhawatirkan Oleh Menkes pada saat itu?
Ceritanya bermula dari paksaan WHO terhadap Indonesia agar mengirimkan virus flu burung H5N1 strain Indonesia yang melanda negeri ini dua tahun lalu ke WHO Collaborating Center (CC) untuk dilakukan risk assesement, diagnosis, dan kemudian dibuatkan seed virus. Entah bagaimana caranya, virus asal Indonesia itu berpindah tangan ke Medimmune dan diolah menjadi seed virus. Hebatnya, seed virus ini diakui sebagai miliknya karena diolah dengan teknologi yang sudah mereka patenkan. Indonesia, yang memiliki virusnya tidak punya hak apa-apa. Padahal, dengan seed virus inilah perusahaan swasta itu membuat vaksin yang dijual ke seluruh dunia dengan harga mahal. |
Siti
Fadilah melihat ketidakadilan itu — yang ternyata sudah berlangsung
selama 60 (enam puluh) tahun dilakukan oleh WHO. Tergeraklah nuraninya.
Ia sadar, dirinya hanyalah seorang Menteri Kesehatan dari negara bukan
super power. Namun, ia berpikir dan bergerak cepat. Nalurinya
mengatakan, kalau bahwa pemaksaan pengiriman virus ke WHO adalah salah
satu kunci lingkaran setan. Maka kalau ia enggan mengirimkan virus itu,
dunia akan bereaksi. Intuisinya benar. Dunia bereaksi. Negara barat —
terutama pemerintah dari negara penghasil vaksin — geger. Mereka takut
virus tersebut menyebar ke seluruh dunia dan terjadi pandemi.(sumber).
Indonesia
dan WHO telah menjalin kesepakatan tentang pengiriman virus dengan
cara baru, yang memberikan akses vaksin terhadap negara pengirim virus.
Siti Fadillah Supari berharap Menteri Kesehatan yang baru, Endang
Sedyaningsih, tidak mengubah kesepakatan itu.
“Saya khawatir kalau policy tentang virus yang ditandatangani WHO. Jangan sampai diubah!” kata Siti di rumah dinasnya, Jl Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/10/2009).
Dikatakan Siti, persoalan virus sangat penting karena menyangkut ketahanan nasional. Dia berharap penggantinya mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi.
“Saya
kira dia yang bisa mengerti. Saya harap dia punya jiwa nasionalis
sehingga bisa meneruskan apa-apa yang bisa dicapai di WHO,” kata
perempuan asal Solo, Jawa Tengah itu.
Jika ternyata tidak? “Saya akan berteriak. Saya harap semua ikut mengawal,” pungkasnya
Sumber:
Virus, Namru 2 dan Ibu Menkes Baru
Perjuangan Ibu Siti Fadilah Supari, dalam melawan konspirasi USA (Vaksin Flu Burung di-Indonesia)
Komentar:
Saya sangat bangga dan salut atas Perjuangan Ibu Siti Fadilah Supari dalam melawan konspirasi USA (Vaksin Flu Burung diIndonesia).
Apalagi ditengah kehausan Indonesia akan pemimpin yang mempunyai rasa
Nasionalis dan kemanusiaan yang tinggi untuk membela rakyat kecil dan
menjaga harga diri Bangsa ini.
Saya
punya pengalaman yang sedikit menyedihkan ketika menumpangi salah satu
taksi diJakarta, ditengah kemacetan sang sopir bercerita alasan dia
pindah dan mengadu nasib diJakarta dengan menjadi sopir taksi
dikarenakan usaha peternakan ayam-nya diMedan bangkrut oleh isu Flu
Burung. Dimana terlihat salah satu ayam mati mendadak, mungkin karena
mahal dan membutuhkan waktu sehingga semua ayam dipeternakannya harus
dibunuh dan dibakar. Padahal belum tentu gejala itu adalah virus flu
burung. Dan banyak cerita menyedihkan lainnya yang jelas-jelas merugikan
Pemerintah untuk membeli vaksin unggas dan yang pastinya pengusaha
kecil dan masyarat Indonesia.
Mendengar cerita diatas, alangkah baiknya kita mendukung Ibu
Siti Fadilah dan para pemimpin yang mempunyai rasa Nasional tinggi agar
lebih waspada terhadap segala bentuk Konspirasi, intervensi dan
propaganda asing terutama AS dan sekutunya yang selalu mencari cara
menarik keuntungan untuk kepentingan negaranya dalam Dunia Kesehatan,
Pertahanan dan segala bidang.
"There
is a transnational ruling class, a "Superclass", that agrees on
establishing a world government. The middle class is targeted for
elimination, because most of the world has no middle class, and to fully
integrate and internationalize a middle class, would require
industrialization and development in Africa, and certain places in Asia
and Latin America. The goal of the Superclass is not to lose their
wealth and power to a transnational middle class, but rather to
extinguish the notion of a middle class, and transnationalize a lower,
uneducated, labor oriented class, through which they will secure
ultimate wealth and power.
The global economic crisis serves these ends, as whatever remaining
wealth the middle class holds is in the process of being eliminated, and
as the crisis progresses, the middle classes of the world will suffer,
while a great percentage of lower classes of the world, poverty-stricken
even prior to the crisis, will suffer the greatest, most probably
leading to a massive reduction in population levels, particularly in the
"underdeveloped" or "Third World" states."
The global economic crisis serves these ends, as whatever remaining wealth the middle class holds is in the process of being eliminated, and as the crisis progresses, the middle classes of the world will suffer, while a great percentage of lower classes of the world, poverty-stricken even prior to the crisis, will suffer the greatest, most probably leading to a massive reduction in population levels, particularly in the "underdeveloped" or "Third World" states."