Penjajahan
selama 350 tahun yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia memberikan
kontribusi signifikan terhadap perubahan dan perkembangan perilaku anak
bangsa. Apalagi jauh sebelum Belanda menjajah, kedatangan kapal-kapal VOC,
sebuah perusahaan niaga di Belanda, ditunggangi sebuah Organisasi
Rahasia yang menamakan diri Vrijmetselarij (Freemasonry).
Ketika Belanda menguasai Indonesia, kelompok ini tumbuh dan
berkembang pesat dengan merekrut tak hanya para kaum terpelajar,
politikus, pejabat negara dan aktivis, namun juga kaum ningrat.
Tujuannya, tentu saja, selain untuk memperluas jaringan. Juga untuk mendapatkan limpahan materi guna mewujudkan impian
mendirikan negara baru di tanah yang dijanjikan, Palestina dan
menciptakan Tatanan Dunia Baru (NWO – New World Order) dimana Yahudi
dengan Israelnya sebagai penguasa seluruh negara di dunia telah berdiri
pada 1948 masih berproses untuk menjadi Israel Raya/The Greater of Israel.
Saat Indonesia dijajah Jepang, kelompok ini sempat bubar karena negeri Matahari Terbit termasuk negara yang memusuhinya.
Namun setelah Jepang pergi dan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden
Soekarno bergulir, organisasi yang selalu melakukan gerakan secara
diam-diam ini kembali eksis. Meski akhirnya, karena Soekarno membenci Barat dan berpihak kepada
Rusia dan China (komunis), pada Februari 1961, lewat Lembaran Negara nomor 18/1961, Presiden Soekarno membubarkan dan melarang keberadaan Freemasonry di Indonesia. (klik)
Soekarno sendiri kemudian digulingkan melalui sebuah konspirasi
tingkat tinggi yang melibatkan CIA (Central Intelligence Agency) dan
antek-antek kelompok ini yang satu di antaranya merupakan seorang
pendeta (misionaris Katolik) kelahiran Amsterdam, Belanda, bernama Pater
Beek.
Karena bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno
jelas menjadi batu sandungan.
Fakta bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J.
Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel
berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam
artikel ini, George menulis begini;
“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama,
(Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan
seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong
(sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher
(pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA.
Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang
amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen
Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang
mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”.
Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi
berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s
New Orde’
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk
ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet, China, dan cenderung
sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan
intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak
intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal
keagamaan, namun juga berwawasan modern.
Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di
Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan
cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami
kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih
karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat
yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk
kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengKatolikkan di
Indonesia.
Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis,
dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak
sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan
Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal
Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan
sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers
dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam
percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan
yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang
berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman
dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur
Djikstra berbeda. Meski mengemban misi dan tujuan yang sama.
Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik
harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan
lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi,
sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya
perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan
banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan
itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang
Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia
atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan
apa yang ia inginkan.
PION-PION PATER BEEK
Pada era 1960-an, Angkatan Darat (AD) merupakan pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang sangat anti-Komunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan NII (Negara Islam Indonesia) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar. Selain kedua hal tersebut, TNI AD juga merupakan kesatuan yang memiliki struktur hingga ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga TNI AD tak ubahnya bagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, tongkat komando tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur
ini sama dengan struktur dalam agama Katolik, karena meski gereja
Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat segala kebijakan yang
terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.
Kesamaan struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek
maupun CIA. Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan
bantuan persenjataan. Kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya untuk
menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia dengan cara yang berbeda
dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang, namun akibatnya akan sangat
terasa hingga kapan pun, termasuk sampai sekarang.
Kerja sama TNI AD dengan CIA dijalin pada 1950-an, saat Bung Hatta
menjadi Perdana Menteri. Salah satu realisasi kerja sama ini adalah
pengiriman 17 orang pilihan di lingkungan TNI AD untuk menjalani latihan
di Saipan Training Station (Pusat Pelatihan Saipan) di Pulau Mariana
yang berjarak 82 kilometer sebelah barat daya Manila, Philipina.
Menurut Ken Comboy dalam buku berjudul ‘Intel: Dunia Intelijen
Indonesia’, Saipan Training Station merupakan pusat pelatihan para agen
mata-mata dan pasukan khusus yang sepaham dengan Amerika. Setelah 17
orang dari TNI AD dikirim ke sana, selanjutnya ada lagi yang dikirim,
namun dalam jumlah yang berbeda-beda.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis,
bantuan senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal
Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)
Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan
pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?
Selama kerja sama dijalankan, Pater Beek secara intens bergaul dengan
para perwira AD untuk mencari pion-pion yang dapat dikendalikan. Ia
dengan mudah diterima karena menurut Richard Tanter, Beek merupakan
pribadi yang powerfull dan mudah bergaul.
Dalam setiap obrolan maupun pertemuan-pertemuan, ia sanggup menghasilkan
visi kuat yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan orang-orang di
sekitarnya. Ia juga memiliki gaya bicara yang lugas dan meyakinkan,
sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan magnet bagi para
lawan bicaranya.
SOEHARTO
Nama Soeharto mulai melejit setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret
1949. Dalam serangan itu Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin
serangan. Namun berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika Soeharto mengkhianati
Latief, sahabatnya, terbongkar kalau ketika serangan terjadi, Soeharto
justru sedang lahap menyantap soto babat.
Bagi Pater Beek, Soeharto merupakan orang yang paling tepat untuk
dimanfaatkan demi misi-misi dan kepentingannya, karena selain bukan
Muslim yang taat, Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan
CIA’, Soeharto juga seorang pembohong, licik dan korup.
Tak jauh berbeda dengan karakter Beek sendiri. Waktu kemudian
membuktikan bahwa pilihan Beek menjadikan Soeharto sebagai pion utama,
sama sekali tidak salah, karena melalui tangan Soeharto lah misi-misi
dan tujuannya tercapai.
Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA). Menurut Sembodo, karir Soeharto di TNI lebih banyak karena keberuntungan dibanding karena prestasi.
Selepas dari Yogyakarta, Soeharto diangkat menjadi Panglima Divisi
Diponegoro, Jawa Tengah, namun melakukan korupsi dan dicopot dari
jabatannya. Karir Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD
Jenderal AH Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu
disekolahkan di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.
Menurut John Helmi Mempi dan Umar Abduh dalam artikel berjudul ‘Orde
Baru, Freemason dan Pater Beek 35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik
dan Intelijen Indonesia di Bawah Soeharto, Beek mendekati Soeharto
melalui istrinya, Siti Hartinah atau yang akrab dipanggil Ibu Tin
Soeharto, yang lebih dulu di Katolikkan dan ditahbiskan menjadi anggota
Ordo Jesuit.
Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang
menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di
Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi
Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.
Dua perwira lain yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali
Murtopo. Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria
sesuai yang ia butuhkan.
Apalagi karena kedua orang inilah yang mendukung Soeharto menjadi
Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto masih
menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.
Jadi, setelah mendapatkan pion utama untuk menyukseskan misinya, Beek
mendapatkan pembantu-pembantu pion utamanya itu. Maka lengkap sudah
pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal mencari pion-pion pendukung lain
sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.
YOGA SUGAMA
Yoga Sugama |
Yoga Sugama dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 Mei 1925. Kala Perang Dunia II meletus, ia mendapat pendidikan militer di Tokyo, Jepang, hingga perang usai. Ketika perang kalah, ia alih profesi menjadi penerjemah di Markas Jenderal Mac Arthur dan kembali ke Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk. Ia bergabung dengan dinas intelijen yang dikenal dengan nama Bagian V.
Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat
itulah ia bertemu Soeharto yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan
Resimen Yogyakarta, dan menjalin hubungan yang sangat baik. Ketika Mabes Angkatan Darat berniat mengangkat Bambang Supeno menjadi
Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto yang berambisi menduduki jabatan
itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng.
Hasilnya, dibuat suatu isu rekayasa bahwa jika Mabes mengangkat Bambang, maka beberapa perwira akan membangkang. Sabotase sukses, dan Soeharto mendapatkan jabatan yang seharusnya
diemban Bambang. Atas jasanya, Yoga diangkat menjadi perwira intelijen.
Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya
selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu. Selain di
Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung
machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai
yang dibutuhkan Pater Beek. Apalagi karena untuk dapat menyukseskan
misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya
seorang intel.
Meski Beek seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi. Nama ini (Beek), tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.
Pula, Orde Baru pun sengaja menyembunyikan sosok ini rapat-rapat agar
apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa itu, tidak
terungkap kebenarannya, sehingga sejarah yang dicatatkan dalam buku-buku
dan dicekokkan kepada para siswa di sekolah-sekolah maupun kepada para
mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi, cenderung tidak akurat,
berbau rekayasa dan bahkan ada yang menyesatkan. Contohnya adalah
peritiwa meletusnya G-30S/PKI.
Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi
tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan
ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.
ALI MURTOPO
Ali Murtopo |
Ali Murtopo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 23 September 1924. Karirnya di militer dimulai ketika bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1950-an, ia ditugaskan di Kodam Diponegoro, bergabung dengan pasukan “Banteng Raider”, pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan Darul Islam (DI).
Pada 1959, ketika meletus pemberontakan di sejumlah daerah, ia
dikirim ke Sumatera dengan jabatan sebagai kepala staf Resimen II, dan
Yoga Sugama sebagai komandan resimennya. Begitu pemberontakan PRRI berhasil ditumpas, Ali Murtopo kembali ke
Jawa Tengah dan melanjutkan tugasnya di Kodam Dipenogoro. Di sini lah ia
bertemu Soeharto.
Ketika Mabes Angkatan Darat ingin mengangkat Bambang Supeno sebagai
Panglima Divisi Diponegoro, ia dilibatkan Soeharto dalam rapat rahasia
di Kopeng yang akhirnya membuat Bambang gagal menduduki jabatan
bergengsi itu. Atas jasanya, Soeharto mengangkatnya menjadi Asisten
Teritorial.
Ali Murtopo dan Soeharto berpisah setelah Soeharto dicopot dari jabatan sebagai Panglima Divisi Diponegoro akibat korupsi, dan ‘disekolahkan’ oleh Presiden Soekarno di SSKAD. Mereka berkumpul lagi setelah Ali ditarik Soeharto ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai Deputi I KSAD. Ketika Jenderal AH Nasution mengangkat Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) dengan pangkat Brigadir Jenderal, Soeharto mengangkat Ali menjadi Asisten Kepala Staf CADUAD.
Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali
adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya.
Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal
dari keluarga santri. Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut
ajaran kejawen atau Islam abangan. Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan begini;
“Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari
keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bisa menjadi orang yang sangat
anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde
Baru. Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana
berkuasa".
Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib).
Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib).
Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan
orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk
menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden.
Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang
ke atas) Soeharto.
Maka jelas apa yang membuat Beek merasa cocok merekrut orang ini. Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri.
Untuk mencapai tujuan yang besar, maka dibutuhkan modal dan sarana yang besar pula. Pater Beek tentu menyadari hal ini, sehingga menjadikan Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo saja tidak cukup, maka harus ada pion-pion yang menjadi pendukung ketiga pilar utamanya ini agar tujuan tercapai.
Sebelum dan selama mendekati Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo,
Beek juga mendekati orang-orang di luar institusi militer. Di antaranya
adalah mahasiswa yang dalam beberapa peristiwa, terbukti dapat dijadikan
motor paling efektif untuk melancarkan sebuah gerakan dan membuat
perubahan.
Bagi Beek, merekrut mahasiswa Islam untuk menjadi ‘anggota
pasukannya’ tentulah tidak mudah. Maka dengan didukung agen-agen CIA dan
Freemason yang lain, ia menggarap mahasiswa Katolik. Maka berdirilah
PMKRI pada 25 Mei 1947.
Berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta. Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948.
Berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta. Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948.
Federasi KSV yang didirikan pada 1949 diketuai Gan Keng Soei (KS
Gani) dan Ouw Jong Peng Koen (PK Jong). Sedang PMKRI Yogyakarta yang
didirikan pada 25 Mei 1947 diketuai pertama kali oleh St. Munadjat
Danusaputro.
Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi). Menurut Mujiburrahman dalam desertasi bertajuk ‘Feeling Threatened Muslim-Christian Releations in Indonesia’s New Orde’, kedua bersaudara ini merupakan kader utama Beek di PMKRI.
Selain kedua bersaudara tersebut, dalam desertasinya Mujiburrahman
juga menyebut kader Beek yang lain, yakni Cosmas Batubara dan Harry Tjan
Silalahi.
COSMAS BATUBARA
Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk
menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan
Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih
kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.
COSMAS BATUBARA
Cosmas Batubara |
HARRY TJAN SILALAHI
Harry Tjan Silalahi |
Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti nama menjadi
Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.
Setelah lulus SMA, Harry pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas
Hukum UI. Ia lulus pada 1962. Selama kuliah, ia aktif di perkumpulan Sin
Ming Hui dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI),
dan terpilih menjadi sekjen. Dari sini lah ia dikenal Pater Beek dan
direkrut.
Selain menggarap mahasiswa di dalam negeri, melalui Ali Moertopo,
Beek juga menggarap mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di
luar negeri. Mahasiswa-mahasiswa ini kelak akan menjadi bagian dari CSIS
(Center for Strategic and International Studies) yang menjadi think
thank Orde Baru dalam setiap kebijakannya. Tentang pembangunan jaringan
ini diungkap sendiri oleh Harry Tjan Silalahi dalam tulisan berjudul
‘Centre Lahir dari Tantangan dan Jaman’. Begini petikannya;
“Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri
untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar
negeri tersebut. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara
lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Bapak Daoed Joesoef, PPI
Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang
dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat
yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti
yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.
Para mahasiswa dan pemuda-pemuda Katolik tersebut kemudian diberi
pelatihan oleh Pater Beek yang dikenal dengan sebutan Kaderisasi Sebulan
(Kasbul), untuk dijadikan ‘laskar Kristus’ yang menjalankan
Kristenisasi di Indonesia secara besar-besaran. Dalam fikiran mereka
ditanamkan doktrin bahwa Islam adalah musuh, Islam adalah agama pedang,
Islam adalah perampok Yerusalem, Islam adalah perebut Konstantinopel,
dan Islam adalah agama anti-Kristus. Tuduhan-tuduhan yang sungguh jauh
dari kebenaran. Tentang apa saja pelajaran yang diberikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu, Richard Tanter, menjelaskannya sebagai berikut;
“(Pater) Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu bulanan secara
reguler bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan
menghadirkan pastur maupun rohaniawan, sebagai bagian dari program
kaderisasi; pelatihan keterampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di
hadapan publik, keterampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta
analisis sosial”. Sedang Cosmas Batubara menjelaskan begini;
“Beliau (Pater Beek) hanya
memberikan training-training untuk menghadapi Komunis. Kita didoktrin
agar kuat melawan Marxisme-Leninisme. Juga diajarkan bagaimana kelompok
Komunis itu beraksi, dan bagaimana menghadapi mereka. Itu kami pelajari.
Kalau tidak, bagaimana kami bias melawan CGMI”. (Memusuhi penghalang Sang penguasa dunia tunggal agar bebas mengeksploitasi kekayaan alam negara lain).
Apa yang dikatakan Cosmas ini membenarkan adanya Kasbul (Kaderisasi sebulan), namun membantah menyerang Islam. Namun Richard Tanter mengungkapkan;
“Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar, baik bagi Indonesia maupun
Gereja, adalah Komunisme dan Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki
banyak keserupaan; sama-sama memiliki kualitas ancaman”.
Jadi, jelas, Beek memang menggunakan ‘pasukannya’ untuk terlebih
dahulu menghancurkan Komunis di Indonesia, dan setelah itu Islam. Tentang hal ini, Tanter mengatakan begini;
“Pasca 1965, posisi militan yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa”.
Dengan metode menggunakan mahasiswa sebagai ‘pasukan tempur’, Pater
Beek sukses menghancurkan dua musuh sekaligus, Komunis dan Islam, dan
bahkan waktu kemudian membuktikan bahwa setelah itu Kristenisasi
berjalan dengan mulus di Indonesia. Tentu saja, setelah Soeharto menjadi
presiden.
Hingga kini bagaimana pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dapat meletus, masih dianggap misteri bagi banyak orang. Tentu saja, karena selama ini sejarawan sekalipun hanya mengaitkan
peristiwa itu dengan Soekarno, Soeharto, PKI, Angkatan Darat, dan CIA.
Bahwa jika peristiwa itu dikaitkan pula dengan Pater Beek, maka masalahnya menjadi benderang.
Soekarno, lelaki flamboyan kelahiran Blitar, Jawa Timur, memang tak
dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak
mahasiswa, ia telah terlibat dalam perjuangan anti-Kolonialisme,
sehingga sempat merasakan pengapnya penjara Sukamiskin dan beberapa
tempat pembuangan.
Sepak-terjangnyapun banyak yang kontroversial. Ketika Jepang menjajah
Indonesia, ia ‘bekerja sama‘ dengan negeri Matahari Terbit itu,
sehingga ribuan rakyat Indonesia dikirim ke kamp kerja paksa romusha.
Setelah Indonesia merdeka, ia dan Bung Hatta bekerja sama menyingkirkan Muso, sahabatnya sendiri ketika masih di Surabaya. Memasuki usia 50-an, ia mulai berseberangan dengan Hatta, sehingga
pasangan yang beken disebut Dwi Tunggal itu retak, dan
‘bermesra-mesraan’ dengan Komunis. Ia pun akhirnya terjungkal dari
tampuk kekuasaan dengan cara yang amat menyedihkan.
Peran Soekarno pada 1950-1960-an dalam jagat perpolitikan
internasional terbilang cukup menonjol. Bersama Nehru, Castro, Tito dan
yang lainnya, ia memelopori berdirinya poros baru di luar poros Amerika
Serikat (AS) dan sekutu-kutunya (Blok Barat), serta Uni Soviet bersama
konco-konconya (Blok Timur). Poros itu kemudian dikenal dengan sebutan
Non Blok.
Poros Non-Blok |
Poros baru ini menentang segala bentuk kolonialisme, namun kemudian
banyak yang melihat, terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya, bahwa
orientasi politik Soekarno cenderung ke kiri alias ke Blok Timur. Ini tercermin dari program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing
yang berada di Indonesia, kampanye ganyang Malaysia dan operasi
Pembebasan Irian Barat yang dianggap merugikan kepentingan Barat.
Apalagi karena selain merupakan basis utama Kristenisasi, kala itu
Barat, khususnya Amerika Serikat, telah tahu kalau di bumi Papua
terkandung bahan tambang yang melimpah ruah, termasuk emas. Lebih parah
lagi, kala itu pun tanpa tedeng aling-aling Soekarno menjalin hubungan
baik dengan pempimpin China, Mao Zedong.
Tak ayal, Blok Barat kebakaran jenggot. Tentang hal ini, dalam buku
berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto’, John Rossa menulis begini;
"Bagi mereka (Amerika Serikat), Presiden Soekarno merupakan sebuah
kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang dipermanenkan
pada Konferensi Asia-Afrika 1955). Hujatan berulang kali terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya
merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia,
ditafsirkan Washington sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow
dan Beijing. Einshower dan Dulles bersaudara-Allen sebagai kepala CIA dan John
Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri-memandang semua pemimpin
nasionalis Dunia Ketiga yang ingin netral di tengah-tengah perang
dingin, sebagai antek-antek komunis”.
Kondisi yang tak menguntungkan ini membuat Amerika Serikat dan
konco-konconya mencari cara untuk menyingkirkan Soekarno, sebuah cara
yang sangat halus, rapih, dan terkoordinir dengan sangat baik agar pihak
luar, bahkan bangsa Indonesia sendiri, tak tahu kalau mereka lah otak
penggulingan ini.
Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan
intelijen. Maka, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana
penggulingan ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.
AAD VAN DEN HEUVEL
Semula, keterlibatan Beek dalam penggulingan Soekarno hanya dianggap
sebagai fiksi belaka, namun setelah Aad van den Heuval, mantan presenter
radio dan televise KRO. Merilis laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt,
Goedenavond’ (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005,
publik Eropa sekalipun langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam
penggulingan itu.
Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin
memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja
sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan
Soedjono Hoemardani. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya
karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.
Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap
wara-wiri ke Indonesia untuk meliput gejolak politik di negara kepulauan
ini. Jika ditugaskan ke Indonesia, biasanya memakan waktu satu atau dua
bulan. Dalam kurun waktu inilah Heuvel bertemu Pater Beek dan
mewawancarainya. Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan
begini;
“Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan
dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami
melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus
Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan
mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk
langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui
kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di
sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah.
Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah
menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah
wakil pihak ketiga”.
Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah
karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan
eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya yang
sebagai berikut;
“Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan
berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah
tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut,
kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya,
apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia
dapat membuatnya menjadi mungkin”.
Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian
dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi
G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah negeri ini, serta
kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak.
Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang,
pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih
mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang.
Entah, apakah karena setelah era Orde Baru tumbang pada 1998,
pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu,
atau ada alasan lainnya.
Bahkan buku-buku tentang G-30S/PKI yang telah diterbitkanpun semuanya
tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan
Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah
jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lubang Buaya,
Jakarta Timur.
Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin
terhadap Komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah
membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas
Katolik di Indonesia.
Dari pernyataan ini saja sulit membantah bahwa Beek tidak memiliki
peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang berujung pada penggulingan
Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua RI. Apalagi karena
dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam Pusaran Politik’, Benny G. Setiono
antara lain menulis begini;
“Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat,
menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia
sangat membenci Komunisme …” Tak perlu meragukan kelicikan, kecerdasan dan kehebatan Pater Beek
dalam menyusun sebuah strategi. Serpak terjang Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang begitu intens untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘saudara’
China dan Uni Soviet, membuat semua agen CIA, termasuk Beek, mencari
momentum untuk memukul balik partai yang keberadaannya didukung Presiden
Soekarno itu. Terlebih karena pada awal 1965, para buruh yang telah
direkrut PKI menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik
Amerika Serikat.
Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu.
Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa
dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam
hingga 1 Oktober 1965 dinihari. Dalam kejadian ini, enam jenderal dibunuh dan mayatnya dicemplungkan
ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Dalam buku-buku
sejarah yang diterbitkan saat era Orde Baru, disebutkan bahwa PKI lah
pelaku utama peristiwa itu dalam rangka mengambil alih kekuasaan.
Apalagi karena menjelang kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk
yang di daerah-daerah, telah mengetahui akan adanya kejadian itu.
Namun, jika merujuk pada artikel Jos Hagers yang diterbitkan De
Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa jadi akibat ulah Beek.
Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di Angkatan Darat, isu
Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu. Yang lebih menarik, seperti diungkap Richard Tanter, Beek telah
menyiapkan sejumlah langkah setelah kasus itu meledak.
Begini kata Tanter;
Begini kata Tanter;
“Pada periode menjelang peristiwa 1965, (Pater) Beek sudah
mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan ia
terlibat dalam persiapan gerakan Katolik bawah tanah. Dalam periode
akhir Demokrasi Terpimpim, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas
Pancasila yang anti-Komunis.
(Pater) Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun
koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan pinjam, bank, dan
lain sebagainya. Tiap jaringan anti-Komunis tersebut memiliki
koordinator untuk masalah-masalah sosial.
Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi bagian basis
gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada
pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya
keterlibatan secara langsung”.
Mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk organisasi-organisasi itu
adalah para mahasiswa Katolik yang telah dipersiapkan melalui Kasbul.
Bahkan sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu
membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang pada 23
Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya
Subchan Z.E, dan sekjennya Harry Tjan Silalahi, salah seorang kader
Beek.
Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi-organisasi lain juga
terbentuk. Di antaranya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI
(Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPMI (Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa
Indonesia), KAPPI (Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan
Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), dan KAGI
(Kesatuan Aksi Guru Indonesia).
Bersama Front Pancasila, organisasi-organisasi melakukan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi underbouw-nya. Tuntutan mereka dipertegas dalam resolusi Front Pancasila saat menggelar Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta.
Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan
tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara
langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.
Dari semua organisasi mahasiswa tersebut, yang paling fenomenal
adalah pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) karena
organisasi yang dibentuk pada 25 Oktober 1965 ini merupakan organisasi
yang dibentuk berkat kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil
dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP)
Mayjen dr. Syarief Thayeb.
Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), SOMAL (Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia).
‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi
kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi
ini adalah kader orang itu, yakni Cosmas Batubara.
Sembodo menegaskan. Cosmas termasuk kader Beek yang giat menggalang
aksi mahasiswa untuk mempercepat tergulingnya Soekarno dan hancurnya
PKI. Sembodo bahkan berani menyebut bahwa KAMI-lah organisasi yang
menjadi poros utama Beek untuk menciptakan puting beliung yang
menghancurkan Soekarno dan Komunis.
Van den Heuval dalam laporan-laporannya menjelaskan, Beek mulai
menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di Universitas Atmajaya.
Dari sini lah ia membangun sel-sel di kalangan mahasiswa karena
menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar yang dapat
digerakkan. Terbukti, ketika para pendukung Soekarno, terutama tentara,
bereaksi, mahasiwalah yang dikerahkan untuk memukul balik reaksi itu.
Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan
Soekarno dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang
dipublikasikan dalam buku berjudul ‘Bayang-bayang PKI’. Dalam buku itu
tertulis begini;
“Selama bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina
anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan
anti-Komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik.
Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-Komunis
yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan
peranan penting dalam gerakan anti-Komunis. Antara lain, ia sering
disebut-sebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA”.
Tokoh di belakang layar kadangkala tampil juga ke hadapan publik.
Bukan untuk mendeklarasikan dirinya sebagai mastermind dari suatu
kejadian, melainkan untuk memantau, mengendalikan, dan memastikan bahwa
apa yang telah didesainnya berjalan sesuai track yang benar.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menjelaskan, kala
gerakan KAMI semakin membesar untuk menggulingkan Soekarno, Pater Beek
muncul di antara para demonstrannya di jalan-jalan raya di Jakarta.
Richard Tanter bahkan menyatakan begini soal kemunculan Beek di tengah orang-orang yang dikerahkannya itu;
Richard Tanter bahkan menyatakan begini soal kemunculan Beek di tengah orang-orang yang dikerahkannya itu;
“Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam
demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris
menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing”.
Dengan kata lain, Beek muncul ke hadapan publik dengan cara menyamar,
sehingga orang-orang tak dapat mengenali kalau dia sesungguhnya bukan
pribumi. Luar biasa! (CIA banget!!!).
Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal
gerakan, organisasi ini seolah-olah mendukung sang the founding father
dan hanya menuntut pembubaran PKI. Akan tetapi, ketika Soekarno tidak
memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan
perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi
secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundurkan diri sebagai
presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI
dibubarkan.
Saat KAMI terpojok beginilah Beek mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan. Dalam buku berjudul ‘Army and Politics in Indonesia’, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Soekarno justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad dimana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor.
Maka, seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI seperti Cosmas
Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat
‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.
Dalam bukunya, Harold Crouch menulis, Ali Murtopo tidak sendiri dalam
mengobarkan kembali aksi KAMI itu, tapi dibantu oleh Kemal Idris dan
Sarwo Edhi.
Bahkan agar terkesan gerakan KAMI mendapat dukungan luas dari
masyarakat dan jumlah peserta demonstrasi semakin lama semakin banyak,
Ali Murtopo membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket
almamater UI, kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka dapat ikut
serta berdemo. Crouch menyebut, jaket itu berasal dari CIA.
Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian dalam buku ‘Bayang-bayang PKI’. Katanya:
“Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya
simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket
kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin
dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali
Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket
kuning UI”.
Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.
Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G-30 S/PKI, merupakan awal karir Soeharto yang paling cemerlang. Tentu saja, karena dialah pion yang telah disiapkan Beek untuk menggantikan Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Pembunuhan enam jenderal dalam peristiwa G-30 S/PKI membuat Angkatan
Darat mengalami kekosongan kepemimpinan, dan ‘tangan-tangan’ Beek di
sekitar Soekarno yang mendorong agar Soeharto ditunjuk untuk mengatasi
‘pemberontakan para PKI’, membuat Soekarno mengeluarkan Supersemar yang
menurut versi Markas Besar Angkatan Darat, menugaskan Soeharto yang kala
itu telah diangkat menjadi Panglima kesatuannya dengan pangkat Letnan
Jenderal, untuk mengamankan dan menjaga keamanan Negara, serta institusi
kepresidenan. Isi Supersemar itu lah yang menjadi dasar Soeharto untuk
membubarkan PKI dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di Parlemen.
Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 30 juta orang itu. Sebagian ditahan, dan sebagian lagi dibunuh.
Namun yang hingga kini juga masih ‘menakjubkan’, meski anggota PKI
hanya sebanyak itu, yang terbunuh dalam tragedi paling berdarah di
Indonesia itu justru jauh lebih banyak. Bahkan saking banyaknya, hingga
kini jumlah orang yang dibunuh masih simpang siur.
Bagaimana Soeharto bisa ‘sehebat’ itu?
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek.
Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari
tingkat pusat hingga daerah-daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah
satu basis PKI, kepada CIA. Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu,
data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum
dalam daftar itu, dihabisi.
Hal ini terungkap setelah wartawati Amerika Serikat, Kathy Kadane,
mewawancarai mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta,
pejabat CIA, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Mantan pejabat
Kedutaan Besar Amerika Serikat, Lydman, misalnya, mengakui kalau
pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga
dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus.
Dengan dua cara inilah maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.
Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak
langsung saja kepada Soeharto? Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo
adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota
CIA. Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus
men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan
bagian dari CIA, ikut terbantai.
Yang lebih menarik, dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’,
Sembodo mengatakan bahwa sebelum sampai kepada Soeharto, daftar itu oleh
CIA diserahkan dulu kepada Kim Adhyatma, ajudan Adam Malik.
Tak heran jika dalam bukunya yang berjudul ‘Legacy of Ashes, History
of the CIA’, wartawan New York Times, Tim Weiner, menyebut kalau Adam
Malik merupakan seorang agen CIA.
Bahkan wartawan itu menyebut, pahlawan nasional berjulukan si Kancil
itu merupakan pejabat tertinggi di Indonesia yang pernah direkrut Dinas
Intelijen Amerika.
Soekarno digulingkan melalui cara yang sangat terencana dan sistematis yang melibatkan MPRS.
Melalui Sidang Umum yang digelar pada 1966, Lembaga Tertinggi Negara itu
mengeluarkan dua ketetapannya, yaitu TAP MPRS No. IX/1966 yang
mengukuhkan Supersemar menjadi Ketetapan (TAP) MPRS, dan TAP MPRS No.
XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang
Supersemar, untuk setiap saat menjadi presiden apabila Soekarno
berhalangan. Lembaga itu juga meminta Soekarno mempertanggungjawabkan
sikapnya terkait dukungan terhadap PKI.
Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawaban,
namun pidato yang diberi judul ‘Nawaksara’ itu dianggap tidak lengkap.
Pada 10 Januari 1967, Soekarno kembali membacakan pertanggungjawabannya
yang kali ini diberi judul ‘Pelengkap Nawaskara’. Namun pada 16 Februari
1967, MPRS juga menyatakan menolak pertanggungjawaban itu.
Akhirnya, berkat permintaan MPRS, pada 20 Januari 1967 Soekarno
menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.
Penandatangan ini merupakan akhir dari karir Soekarno sebagai presiden
RI karena sesuai TAP MPRS No. XV/1966, secara de facto Soeharto menjadi
kepala pemerintahan Indonesia menggantikan dirinya.
Naiknya Soeharto menjadi presiden disahkan melalui Sidang Istimewa
MPRS dengan agenda pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat
Soeharto sebagai penggantinya. Bahkan dalam sidang itu, MPRS mencabut
gelar Pemimpin Besar Revolusi yang disandang sang the founding father.
Jejak Beek dalam kudeta ini mungkin bisa dilacak dari perlakuan
Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi
presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan
mengisolasinya dari dunia luar, sehingga tak dapat lagi berhubungan
dengan rekan-rekan sesama pejuang yang merebut kemerdekaan dari penjajah
Belanda dan Jepang. Padahal ketika Soeharto ketahuan korupsi ketika
masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soekarno memaafkannya. Meski
Soeharto ‘disekolahkan’ dulu di SSKAD sebelum ditarik ke Jakarta, ke
Markas Besar Angkatan Darat.
Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau
memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis,
Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota
kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.
Meski kemudian Soeharto menetapkan Negara dalam keadaan berkabung
selama sepekan, apa yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno jelas
terlalu berlebihan mengingat Soekarno tidak memiliki kesalahan fatal
terhadapnya. Perlakuan Soeharto ini patut diduga mewakili kepentingan yang lain,
yakni kepentingan orang yang menaikkannya menjadi presiden; Beek. Karena
Beek benci Komunis, maka praktis dia juga membenci Soekarno.
Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya. Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan
yang mempermudah misi Pater Beek selanjutnya, yakni menghancurkan Islam.
Maka tak heran jika selama 32 tahun Orde Baru berkibar, banyak terjadi
peristiwa yang menyakiti umat Islam.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan kalau
untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep yang diterapkan
Gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam
berbagai lini kehidupan bernegara. (Intinya bukan agama, tapi kapitalis dunia-Menguasai Indonesia sama dengan menguasai Indonesia). Ia mengacu pada tulisan Richard
Tanter yang bunyinya begini;
“Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.
Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara. (Penanaman infiltran AS).
Dengan kata lain, Beek menempatkan orang-orangnya untuk ‘cawe-cawe’
di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto. Dengan
konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel
Dhakidae dalam bukunya yang berjudul ‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam
Negara Orde Baru’, disebut sebagai ‘Negara Organik’.
Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu
adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang
mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa. Konsep negara
organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme,
karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi
pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas
yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.
Di atas konsep seperti itu lah Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme. Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis dimana yang paling atas memegang kontrol, terhadap orang-orang di bawahnya. Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. (Politik bagi-bagi rezeki).
Di atas konsep seperti itu lah Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme. Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis dimana yang paling atas memegang kontrol, terhadap orang-orang di bawahnya. Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. (Politik bagi-bagi rezeki).
AWAL DIBENTUK CSIS (The Centre for Strategic and International Studies)
Konsep Orde Baru ini, kata Sembodo, bila ditilik lebih mendalam tidak
jauh berbeda dengan sistem Gereja Katolik yang berpusat di Vatikan,
karena selama Orde Baru berkuasa, Soeharto sama seperti Paus yang
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap umatnya.
Namun, jelas Sembodo lebih jauh dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan
CIA’, karena gereja tidak boleh politis, maka Pater Beek membutuhkan
‘alat sebagai perpanjangan tangannya’ untuk ikut cawe-cawe dalam
pemerintahan Orde Baru. Sebuah alat yang efektif dan berpengaruh, serta
mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan.
Maka dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikanlah CSIS (The Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat.
Maka dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikanlah CSIS (The Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat.
Lembaga inilah yang kemudian memasok gagasan dan menjaga agar Orde
Baru menerapkan sistem negara organik versi Gereja pra Vatikan II. Selain
lewat CSIS, Beek juga menempatkan bidak-bidaknya di birokrasi dan
militer. Di birokrasi misalnya, ada nama Cosmas Batubara dan Daoed
Joeseof yang menempati jabatan menteri dalam kabinet Soeharto; dan di
militer ada Ali Murtopo, Yoga Sugama serta LB Murdani yang memiliki
kedudukan strategis.
Ali Moertopo dengan Opsus-nya, sebuah lembaga yang mempunyai
kekuasaan tak terbatas dan berandil besar dalam mengebiri politik
anti-Islam. Bahkan Ali Moertopo juga menempati posisi kunci dalam Aspri
(Asisten Presiden) bersama Mayjen Soedjono Humardani.
Kini jelas lah kalau Orde Baru memang era yang pendiriannya
‘ditopang’ Beek demi memuluskan misinya menghancurkan Islam dan
menegakkan Katolik di Indonesia. Tentang hal ini, Richard Tanter berkata
begini;
“Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek dengan dalih, sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evil (tentara)”.
Ketika pertama kali mendengar nama CSIS, yang ada di benak saya
adalah bahwa organisasi ini hanya organisasi para ‘orang pintar’ yang
peduli pada masalah perpolitikan di Indonesia dan berusaha memberikan
kontribusi positif bagi negeri ini. Anggapan ini sebagian kecil tidak
salah, tapi sebagian besar saya merasa kecele karena kala itu saya
memang tak tahu bagaimana sejarah berdirinya organisasi ini. Majalah Q&R edisi 7 Februari 1998 menulis begini tentang CSIS ;
“CSIS tidak dapat dipisahkan dari almarhum Letjen Ali Moertopo dan Mayjen Soedjono Humardani, dua perwira tinggi di awal ‘Orde Baru’ dikenal sangat akrab dengan Presiden Soeharto. Namun kedua tokoh ini (kemudian ditambah dengan nama Jenderal Benny Moerdani, mantan Pangab), sangat berkait dengan suatu masa; tatkala pemerintahan Presiden Soeharto memandang politik Islam dengan syak wasangka.
Bukan kebetulan pula anggota teras kepemimpinan CSIS umumnya beragama
Katolik dan keturunan Cina. Tokohnya yang paling senior, Dr. Daoed
Joesoep, meskipun ia seorang Muslim asal Sumatera Timur, juga ketika
menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dikenal sebagai perumus
kebijakan yang tidak kena di hati umat Islam Indonesia, misalnya
keputusannya untuk tidak meliburkan murid di bulan Ramadan. Walhasil,
CSIS dianggap identik dengan sikap anti-Islam”.
CSIS yang didirikan pada 1971 memang organisasi yang terdiri dari
orang-orang yang anti-Islam. Maka, tak mengherankan kalau di tempat ini
bertemu dua aliran, tentara dan sipil. Aliran tentara dipimpin langsung
oleh Ali Moertopo, sedang aliran sipil di bawah komando Harry Tjan
Silalahi. Kedua aliran ini kemudian bersatu untuk menggalang politik
anti-Islam.
Tentang peran Pater Beek dalam pembentukan CSIS disampaikan oleh
Jenderal Soemitro. Dalam buku ‘Soemitro dan Peristiwa Malari’, mantan
Pengkopkamtib inipun menyebut-nyebut nama Pater Beek. Ia menyatakan, ia
menerima banyak laporan tentang siapa di belakang studi bentukan Ali
Moertopo itu. Menurut laporan-laporan tersebut, CSIS dibentuk Ali
Moertopo bersama Soedjono Humardani, sebagian golongan Katolik, dan
sekelompok orang Tionghoa yang umumnya berafiliasi dengan Pater Beek.
Jelas, bahwa lembaga yang dimaksud Soemitro adalah CSIS.
Selain memengaruhi Soeharto, lewat Ali Moertopo dan Soedjono
Humardani, CSIS juga berusaha bermain lewat Golkar yang sejarah
pendiriannya memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Orde Baru.
Pada awalnya, di masa revolusi, Golkar merupakan kumpulan organisasi anti-Komunis yang bergabung dalam Front Nasional. Organisasi-organisasi yang bergabung dalam Golkar antara lain
organisasi buruh tani, pegawai negeri, perempuan, pemuda, intelektual,
artis dan seniman.
Sebagaimana diuraikan Harold Cruch dalam bukunya,
organisasi-organisasi sipil tersebut dikendalikan oleh tentara yang
peranannya dominan lewat SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Begitu Soekarno
tumbang, Golkar pun dijadikan mesin politik Orde Baru.
Dalam buku berjudul “Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengutip
penuturan Romo Dick Hartoko yang tertulis di Tempo, yang isinya begini;
“Awal mula dari Golkar adalah ide seorang Romo Jesuit Beek”. Romo ini
bahkan menegaskan, Beek punya kedekatan dengan salah seorang pendiri
CSIS, Ali Moertopo, yang kala itu masih aktif di Opsus dan BAKIN (Badan
Koordinasi Intelijen Negara).
Selama era Orde Baru, Golkar merupakan partai yang tak terkalahkan
karena setiap warga Indonesia, terutama pegawai negeri, dipaksa memilih
partai berlambang pohon beringin. Atau hak-haknya sebagai rakyat
dikebiri dan dipersulit dalam mengurus banyak hal, termasuk KTP. Tak
heran, karena seperti juga CSIS, Golkar adalah organisasi bentukan Beek
yang dihidupkan demi menjaga Soeharto tetap langgeng di tampuk
kekuasaan, dan misinya tercapai dengan baik.
Menurut Sembodo, Romo Dick Hartoko sama sekali tidak salah karena Ali
Moertopo mendapat tugas dari Beek untuk menjadikan Golkar sebagai mesin
politik yang efektif, sehingga dapat memenangi Pemilu dan mengalahkan
partai Islam dan partai nasionalis. Bahkan untuk lebih memastikan
kemenangan Golkar, Ali Moertopo mendirikan Badan Pemilihan Umum (Bapilu)
yang sebagian besar orang-orangnya beragama Katolik. Tentang hal ini, Harold Crouch mengatakan begini;
"Mengabaikan
organisasi-organisasi Sekber-Golkar yang lama, strategi pemilihan Golkar
dirancang oleh sebuah komite yang dikumpulkan oleh Ali Moertopo, yang
sebagian besar terdiri dari bekas aktivis dari kesatuan aksi. Yakin akan
kebutuhan untuk ‘memodernisasi’ politik Indonesia dengan mengurangi
peranan partai-partai ‘tradisional’, para anggota komite yang dikenal
dengan nama Badan Pemilihan Umum (Bapilu) itu berpandangan sekuler, di
dalamnya banyak anggota yang beragama Katolik”.
Crouch juga tak keliru, karena pada pemilu pertama di era Orde Baru,
yakni pada 1971, Jusuf Wanandi, kader Beek, aktif di badan ini. Dia
kemudian menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar.
Selain Bapilu, bidak-bidak Beek melakukan banyak manuver untuk
membuat Golkar tak terkalahkan pada masa Orde Baru. Ketika diwawancarai
Majalah Sabili, Suripto mengatakan, sebetulnya banyak pihak yang
mengusulkan sistem dua partai seperti di Amerika, namun gagasan itu
dimentahkan oleh Ali Moertopo yang menghendaki tiga partai.
Satu partai jelas Golkar, sedang dua partai lainnya yang beraliran
nasionalis dan Islam. Sejarah kemudian membuktikan, gagasan Ali
Moertopo-lah yang diimplementasikan Orde Baru, namun, tentu saja dengan
mengebiri partai nasionalis dan Islam sehingga sepanjang era tersebut,
kedua partai ini tak lebih dari figuran dalam dunia perpolitikan
Indonesia agar Indonesia dipandang sebagai negara yang demokratis.
Pengebirian PNI sebagai representasi partai nasionalis, dilakukan
dengan menggembosi partai itu melalui kekuatan birokrasi. Para pegawai
negeri “ditekan” agar memilih Golkar, dan yang membangkang akan dipecat
atau kenaikan pangkatnya ditunda. Mengenai hal ini, Harold Crouch
menjelaskan begini;
“Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Komendagri
(Koperasi Departemen Dalam Negeri), suatu organisasi karyawan dari
Departemen Dalam Negeri, darimana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970, rupanya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan
bahwa Departemennya akan menjadi tulang punggung Golkar. Walaupun
menteri selalu mengatakan bahwa para pegawai negeri masih diperbolehkan
menjadi anggota partai masing-masing, tetapi ia menyatakan bahwa mereka
yang mementingkan partai akan dipecat dan ia juga menyatakan bahwa
keanggotaan partai sekurang-kurangnya akan menjadi hambatan bagi
kenaikan pangkat”.
CARA PATER BEEK MENDISKRIMASIKAN ISLAM
Pengebirian terhadap partai berideologi Islam dilakukan bidak-bidak
Pater Beek dengan dua cara. Cara Pertama: melarang Partai Islam, sebagai contoh dengan melarang berdirinya kembali
Masyumi, sehingga ketika partai yang menjadi empat besar pada Pemilu
1955 itu mengajukan izin pendirian kembali, Presiden Soeharto sang
penguasa Orde Baru menolaknya dengan alasan karena partai tersebut
terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.
Ini alasan yang dibuat-buat, karena alasan yang sesungguhnya adalah
Masyumi memiliki basis pendukung yang besar dari kalangan umat Islam.
Jika izin pendirian kembali Masyumi diberikan, partai ini akan menjadi
ganjalan besar bagi Golkar. Alasan lain mengapa Soeharto melarang
Masyumi berdiri diutarakan Dr. George J. Aditjondro dengan ungkapan
sebagai berikut;
“Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa atas partisipasinya dalam penumpasan Gestapu.
“Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa atas partisipasinya dalam penumpasan Gestapu.
Padahal Soeharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk
mengelola sendiri Negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa
pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam melawan tentara ini
lah yang melicinkan dipraktikkannya doktrin lesser evil Pater Beek
tersebut”.
Ketika masih berkuasa, Soekarno berkali-kali membuat kebijakan
kontroversial. Di antaranya mendukung PKI, dan melarang Masyumi.
Kebijakan Soekarno ini membuat tokoh-tokoh partai Islam itu bekerja sama
dengan Soeharto untuk ikut menghabisi kekuatan Komunis dan
menggulingkan Soekarno, tanpa mengetahui ada siapa di belakang Soeharto.
Begitu Komunis tumbang dan Soekarno terguling, Soeharto menyingkirkan
partai ini dengan menjadikannya sebagai partai terlarang juga.Sebagai
musuh nomor satu Pater Beek setelah Komunis dihancurkan, Islam memang
mengalami tekanan yang amat hebat. Celakanya, umat Islam sendiri kurang
cerdas dalam menyikapi keadaan, sehingga baru merasakan akibatnya di
belakang hari.
Namun, seperti diungkap Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan
CIA”, para pendiri Masyumi tidak kekurangan akal. Agar tetap dapat
berkiprah di kancah perpolitikan nasional, mereka mendirikan partai baru
yang dinamakan Parmusi (Partai Muslim Indonesia). Pater Beek tentu saja
tak tinggal diam. Dia menyusupkan DJ. Naro, salah seorang bidaknya,
untuk memecah-belah partai itu, sehingga Parmusi terpecah menjadi dua
kubu.
Dengan dalih untuk meredam kemelut, pemerintahan Soeharto turun
tangan, maka jatuhlah Parmusi ke tangan “Beek” karena Parmusi kemudian
dipimpin MS Mintaredja yang merupakan “orangnya pemerintahan Soeharto”.
Tentang hal ini, Harold Crouch menyatakan begini;
“Rupanya konflik yang timbul di dalam Parmusi dibangkitkan oleh Naro dengan dorongan anggota-anggota Opsus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Mereka (Opsus) tidak berharap bahwa Naro akan memegang jabatan ketua umum partai, tetapi menciptakan situasi yang memungkinkan pemerintah melangkah masuk dan mengajukan calon ‘hasil kompromi’”.
“Rupanya konflik yang timbul di dalam Parmusi dibangkitkan oleh Naro dengan dorongan anggota-anggota Opsus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Mereka (Opsus) tidak berharap bahwa Naro akan memegang jabatan ketua umum partai, tetapi menciptakan situasi yang memungkinkan pemerintah melangkah masuk dan mengajukan calon ‘hasil kompromi’”.
Cara kedua Pater Beek cs mengebiri politik umat Islam adalah dengan
merangkul, namun sekaligus mendiskreditkannya. Pekerjaan ini dilakukan
oleh Ali Moertopo dengan cara mendekati mantan orang-orang DI (Darul
Islam).
Pada 1965, sebagaimana diungkap Ken Comboy dalam bukunya yang
berjudul “Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, Ali Moertopo
berhasil menyelundupkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaran
mantan orang-orang DI. Sugiyarto bahkan berhasil membangun hubungan
dengan Mohammad Hasan, salah seorang komandan DI di Jawa Barat.
Orang-orang DI pertama kali dimanfaatkan Ali Moertopo untuk mengejar
orang-orang Komunis, dan ini dibenarkan Umar Abduh dalam artikel
berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” dengan uraian sebagai
berikut;
“Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan
signifikan, ketika Ali Moertopo mengajukan ide tentang pembentukan dan
pembangunan kembali kekuatan NII guna menghadapi bahaya laten Komunis
dari Utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali
Moertopo ini selanjutnya diolah oleh Danu Mohammad Hasan dan dipandu
Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak
Kartosuwiryo) dan H. Isma’il Pranoto (Hispran)".
Pada saat Ali Moertopo melakukan infiltrasi ke DI inilah, menurut
Sembodo, Komando Jihad didirikan, dan langsung ‘dimainkan’ Ali Moertopo
untuk kepentingan politik pemerintahan Soeharto. Di antaranya, untuk
mendapatkan tambahan suara dalam jumlah signifikan bagi Golkar. Tentang
hal ini Ken Comboy mengatakan begini;
“…Opsus melihat kesempatan untuk menghidupkan kembali kelompok
kanan berlatar belakang agama ini. Ini dikarenakan Ali Moertopo sedang
mencari kelompok-kelompok pemilih yang akan mendukung Golkar, mesin
politik Orde Baru, dalam Pemilu 1971. Dengan harapan para pemimpin
Komando Jihad ini akan mampu mengerahkan simpatisan mereka…”.
Sembodo menambahkan, setelah Komando Jihad terbentuk, Ali Moertopo
menyusupkan Pitut Soeharto, orangnya, untuk berhubungan dengan para
pimpinan Komando Jihad. Cara Pitut untuk melaksanakan tugasnya adalah
dengan melakukan ‘barter’ minyak. Tentang hal ini diutarakan Ken Comboy
sebagai berikut;
“Guna melancarkan usahanya, ia (Pitut) mengunakan pendekatan unik.
Atas persetujuan Pertamina, suatu perusahaan Negara di bidang minyak dan
gas, Pitut mendapatkan hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa.
Kemudian minyak tersebut ditawarkan kepada para pemimpin Darul Islam
yang kemudian memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka.
Balasannya; mereka harus memberikan suaranya kepada Golkar”.
Cara yang ditempuh Pitut berhasil, sehingga pada Pemilu 1971 Golkar
menang mutlak. Namun menjelang Pemilu 1977, para pimpinan Komando Jihad
membuat Ali Moertopo berang karena Danu sebagai salah seorang pimpinan
Komando Jihad, mengatakan kalau organisasinya akan memberikan suaranya
kepada PPP, bukan kepada Golkar.
Dengan tuduhan akan melakukan makar, empat bulan sebelum Pemilu
digelar, semua pimpinan Komando Jihad dan anggota-anggotanya yang
berjumlah puluhan orang, ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Tentang
hal ini, Janet Steele memberikan uraian sebagai berikut dalam bukunya
yang berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman
Orde Baru”;
“Pada Pemilu 1977, Laksamana Soedomo (seorang militer beragama
Katolik), panglima Kopkamtib, mengumumkan adanya komplotan
anti-pemerintah bernama “Komando Jihad”. Pemilihan waktu pengumuman itu
dipercaya berkaitan dengan otak segala skenario, yakni asisten pribadi
Soeharto, Ali Moertopo, menimbulkan kepercayaan bahwa “Komando Jihad”
adalah upaya yang didukung pemerintah untuk mendiskreditkan politik
Islam sebelum pemilu berlangsung”.
Sedang mengenai proses penangkapan, Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” menguraikan begini;
“Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jaktim yang digelar
pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para rekrutan baru H. Isma’il
Pranoto mencapai 41 orang, 24 orang di antaranya diproses hingga sampai
pengadilan. H. Isma’il Pranoto (Hispran) divonis seumur hidup, sementara
para rekrutan Hispran yang juga disebut sebagai para pejabat daerah
struktur II Neo NII tersebut, baru diajukan ke persidangan pada tahun
1982, setelah ‘disimpan’ dalam tahanan militer selama 5 tahun, dengan
vonis hukuman yang bervariasi.
Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6
tahun penjara. H. Isma’il Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan
Negeri Surabaya tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif PNPS No 11
Tahun 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen TNI-AD
Witarmin. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama
untuk menangani semua kasus yang bernuansa makar dari kalangan Islam”.
“Di Jawa Tengah sendiri aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII
rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun oleh Opsus,
seperti Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan
berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang, akan tetapi yang diproses
hingga ke pengadilan hanya sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap
anggota Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H.
Husen Ahmad Salikun berlangsung tahun 1978-1979”.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, salah seorang korban Komando Jihad,
menuturkan pengalamannya ketika berada dalam pemeriksaan dan penahanan
di Latsusda Diponegoro, Semarang; “Pemeriksaan yang dilakukan atas diri
saya adalah dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam. Bahkan sering-sering semalam suntuk. Kalau jawaban-jawaban saya tidak
sesuai dengan kehendak pemeriksa, bukan saja ditolak, tetapi juga
dicaci-maki yang menyakitkan hati, lalu pemeriksaan ditunda semauya.
Pernah juga saya diperiksa oleh pemeriksa dari Jakarta, yaitu sdr.
Bahar (pangkatnya saya lupa), selama empat hari empat malam tanpa
memperhatikan kondisi fisik. Permintaan saya untuk istirahat, hanya
diperkenankan sekali, sehingga pemeriksaan ini benar-benar di luar
kemampuan fisik saya. Namun toh tetap dilanjutkan. Maka TERPAKSALAH
jawaban yang saya berikan mengikuti apa maunya, yang penting cepat
selesai dan istirahat”.
Adanya penangkapan-penangkapan ini memberikan pembenaran bagi Ali
Moertopo untuk mengeluarkan pernyataan melalui pemerintah, bahwa telah
muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah
belah NKRI. Dengan cara ini, Ali Moertopo berhasil membangun image bahwa
umat Islam adalah warganegara yang tidak setia kepada NKRI, dan karena
takut dianggap ikut-ikutan melakukan makar, maka umat Islam pun
berbondong-bondong memilih Golkar.
Kenneth E. Ward mengakui, rezim Orde Baru sedari awal memang sudah
menempatkan umat Islam melulu identik dengan Darul Islam, sehingga
cenderung hendak menghancurkan Islam. Pendapat Kenneth ini dibenarkan
William Widdle dengan pernyataannya yang sebagai berikut;
“Saya selalu berpendapat bahwa sejak awal orang CSIS (organisasi
think thank Orde Baru yang didirikan Ali Moertopo) memang terlalu
berprasangka terhadap politik Islam di Indonesia. Banyak kebijakan
mereka, termasuk Golkar, diciptakan untuk melawan politik Islam yang
sebetulnya, menurut pendapat saya, tidak perlu dilawan”.
Heru Cahyono dalam buku “Peranan Ulama dalam Golkar, 1970-1980, dari
Pemilu Sampai Malari”, memberikan uraian yang hampir serupa. Ia
menguraikan bahwa kebijakan politik Soeharto terhadap Islam amat
merugikan umat Islam, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali
begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam, berintikan tokoh-tokoh
yang tidak Islami. Inilah strategi kelompok Ali Murtopo untuk mengebiri
politik umat Islam dan menjadikan Islam sebagai kambing hitam demi
kepentingan politik Pater Beek, Soeharto, dan dirinya sendiri.
Upaya-upaya penghancuran Islam tak pernah henti hingga Orde Baru
tumbang pada 1998. Cara yang dilakukan umumnya sama, merangkul umat
Islam dan dikemudian mediskeditkannya dengan berbagai rekayasa.
Tokoh-tokoh yang terlibatpun semakin banyak, yang semuanya merupakan
orang-orang Orde Baru yang mungkin saja termasuk ‘orang-orang binaan’
Pater Beek. Satu di antaranya yang sangat terkenal adalah LB Moerdani.
LB. MOERDANI
Tentang tokoh yang satu ini, George J. Aditjondro dalam artikel berjudul “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan L.B. Moerdani” memberikan uraian sebagai berikut;
“Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Soeharto, salah seorang kadernya disimpan di Korea Selatan sebagai Konjen. Itulah L.B. Moerdani. Sudah sejak di Kostrad pada zaman konfrontasi
dengan Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat
tanda-tanda adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Moerdani. Banyak
yang menduga perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan,
sedang Moerdani pada kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin
berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa,
sementara Moerdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang
yang berkuasa”.
Meski permusuhan antara Ali Moertopo dan LB Moerdani membuat karir
Moerdani terhambat, namun akhirnya Moerdani kemudian muncul juga ke
permukaan. Karir Moerdani meroket setelah peristiwa Malari pada 1974. Apalagi
karena setelah itu Soeharto membubarkan Aspri (Asisten Presiden),
lembaga yang dikuasai penuh oleh Ali Moertopo. Tentang hal ini George J.
Aditjondro mengungkapkan begini;
“Tapi setelah terjadi Malari, Ali Moertopo tidak bisa lagi
menghalangi Moerdani untuk tampil ke depan. Sejak inilah bintang
Moerdani mulai menanjak. Moerdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi
karena sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS
yang mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Moertopo pada
masa pasca Malari, Berjaya lagi oleh naiknya Moerdani”.
L.B. Moerdani beragama Katolik dan sangat membenci Islam. Inilah yang
membuat dia mudah diterima CSIS. Bahkan masuknya Moerdani ke lembaga
yang dibentuk Pater Beek itu ibarat ikan menemukan air. Tentang hal ini, George J. Aditjondtro berkata begini;
“Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat
benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan
CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di
rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa Moerdani sekarang tenang bisa
berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Moertopo)”.
Dalam memilih kader, cara Moerdani dan Ali Moertopo relatif tak
berbeda. Jika Moertopo ‘memukul’ Islam dengan menggunakan orang Islam
juga, (Sama seperti ISIS dan Al Qaeda sekarang). Moerdani pun begitu. Cara ini terbukti efektif karena selama
Moerdani ‘merajalela’, Islam di Indonesia benar-benar berada dalam
suasana suram karena terdiskreditkan dan terpojokan.
Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus
‘Jamaah Imran’ yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor
penerbangan GA 206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal
dengan kasus Pembajakan Wolya.
Kecurigaan ini muncul karena seperti kasus meletusnya G-30 S/PKI yang
menguntungkan Soeharto, kasus Jamaah Imran dan Pembajakan Woyla juga
menguntungkan Moerdani.
Dalam biografi LB Moerdani yang ditulis Julius Pour terdapat kronologis awal kasus itu yang bunyinya sebagai berikut;
“Sabtu 28 Maret 1981, pesawat terbang Garuda Indonesia nomor
penerbangan GA 206 tujuan Medan, tinggal landas dari Bandar Udara
Talangbetutu, Palembang …. Mendadak, terdangar keributan kecil dari arah
kabin penumpang. Co-Pilot Hedhy Juwantoro juga mendengar suara ribut
yang masuk ke ruang kokpit. Ia baru saja akan memalingkan kepalanya
ketika tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar menyerbu ke dalam kokpit
sambil berteriak; “Jangan bergerak, pesawat kami bajak ….”
Pembajakan itu dilakukan oleh lima laki-laki. Pemerintahan Orde Baru
menyebut, para pembajak ini merupakan bagian dari Jamaah Imran, sebuah
jamaah radikal yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, dan dipimpin oleh
Imran.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’. Sembodo menjelaskan bahwa
Jamaah Imran adalah kelompok yang dibentuk setelah Komando Jihad
‘dilumpuhkan’ Ali Moertopo. Tiga bulan setelah jamaah ini terbentuk, seorang anggota intelijen
dari kesatuan TNI Yon Armed Cimahi, yang menurut Umar Abduh bernama
Najamuddin, menyusup dan memprovokasi agar kelompok ini melakukan
gerakan radikal untuk melawan pemerintahan Soeharto secara terbuka.
Anggota intel ini bahkan menunjukkan senjata jenis apa saja yang
cocok untuk dipakai setiap anggota Jamaah Imran, dan meminta setiap
anggota Jamaah itu difoto sambil memegang senjata yang ia perlihatkan. Bodohnya, anggota jamaah itu mau saja tanpa menelaah dulu apa maksud dan
tujuan si penyusup. Tentang hal ini, diuraikan Umar Abduh sebagai
berikut;
“Gerakan pemuda Islam Bandung pimpinan Imran terpedaya, terjebak
dalam isu provokasi intelijen tersebut, apalagi setelah Najamuddin
menjanjikan akan memberikan suplai berbagai jenis senjata organik ABRI,
seraya menunjukkan contoh konkret senjata mana yang yang diperlukan dan
pantas untuk masing-masing orang. Bodohnya, ketika beberapa anggota
kelompok ini diminta agar masing-masing difoto seraya memegang senjata
hasil pemberian yang dijanjikan dan berlangsung hanya sesaat oleh
Najamuddin itu, tidak seorang pun dari anggota gerakan Imran keluar
sikap kritisnya”.
Setelah menunjukkan senjata-senjata yang layak dipakai Jamaah Imran,
Najamuddin kemudian memprovokasi jamaah itu agar segera melakukan
gerakan terbuka melawan pemerintahan Soeharto. Cara pertama yang
disarankan adalah menyerang kantor polisi-kantor polisi dan merebut
senjatanya agar dengan demikian jamaah itu memiliki senjata sendiri
sebagai bekal melawan pemerintah. Bodohnya lagi, provokasi itu termakan
pimpinan dan anggota jamaah, dan Polsek Cicendo, Bandung, diserang.
Soal penyerangan ini, Umar Abduh menjelaskan sebagai berikut;
“Dengan
bermodalkan sebuah Garrand tua itulah kelompok ini terjebak dalam
skenario premature melalui provokasi penyerangan Polsek Cicendo,
Bandung. Melalui modus operasi penyerangan pos polisi yang dilengkapi dengan
seragam militer sebagai akibat, entah sengaja atau kebetulan, telah
menahan sebuah kendaraan bermotor roda dua bernomor polisi sementara
(profit) milik anggota jamaah. Momentum ini dimanfaatkan Najamuddin untuk merealisir terjadinya aksi
kekerasan bersenjata, antara lain menyiapkan magazine dan amunisi
senapan Garrand hasil curian, satu hari menjelang penyerangan pos polisi
tersebut.
Penyerangan akhirnya berlangsung brutal, dengan bermodalkan satu
pucuk senjata Garrand hasil curian (pemberian Najamuddin), Salman dan
kawan-kawan berhasil menembak mati 3 polisi serta melukai satu orang di
Polsek tersebut, dan merampas senjata genggam sebanyak 3 buah”.
Penyerangan Polsek Cicendo menggegerkan Nusantara. Karena kasus ini
merupakan hasil ‘olahan’ intelijen, dengan mudahnya 13 dari sekitar 30
anggota Jamaah Imran dapat dibekuk dalam waktu teramat singkat. Yang
berhasil meloloskan diri, di antaranya Imran Ahmad Yani Wahid (sang
pemimpin jamaah), Zulfikar, Mahrizal, Abu Sofian, Wendy dan HM Yusuf
Djanan, kabur ke Surabaya dan Malang.
Selama di pelarian, entah apakah Najamuddin tetap berhubungan dengan
Imran cs untuk dapat terus memprovokasinya ataukah tidak, selama dalam
pelarian ini lah Imran cs memiliki niat untuk membajak pesawat, dan
kemudian berangkat ke Palembang untuk melaksanakan aksinya. Soal keberangkatan Imran cs ke Palembang ini dijelaskan Umar Abduh
sebagai berikut;
“Setelah memperoleh bekal yang dianggap cukup, maka dengan mengandalkan tiga pucuk revolver jenis Colt 38 hasil rampasan di Polsek Cicendo, Bandung, dan satu pucuk revolver maccarov kaliber 32 hasil pemberian Ir. Yacob Ishak (Mayor TNI-AU) dan dua buah granat serta beberapa batang dinamit, selanjutnya mereka berangkat menuju Palembang pada 25 Maret. Rombongan pembajak tersebut berangkat dari Lawang-Malang tanggal 22 Maret, dan sampai di Palembang tanggal 26 Maret”.
“Setelah memperoleh bekal yang dianggap cukup, maka dengan mengandalkan tiga pucuk revolver jenis Colt 38 hasil rampasan di Polsek Cicendo, Bandung, dan satu pucuk revolver maccarov kaliber 32 hasil pemberian Ir. Yacob Ishak (Mayor TNI-AU) dan dua buah granat serta beberapa batang dinamit, selanjutnya mereka berangkat menuju Palembang pada 25 Maret. Rombongan pembajak tersebut berangkat dari Lawang-Malang tanggal 22 Maret, dan sampai di Palembang tanggal 26 Maret”.
Pada 28 Maret 1981, Imran cs menuju Bandara Talangbetutu, Palembang.
Untuk mengelabui petugas, Imran memerintahkan Ma’ruf yang berseragam
Pramuka membawa senjata api dan bahan peledak. Pada saat Imran cs melewati pintu terakhir bandara, maka Ma’ruf yang
sudah siap dengan ransel di tangan, sekonyong-konyong berteriak sambil
berlari; “Bang, ransel ketinggalan ..! Ransel ketinggalan …!”
Aksi Ma’ruf ini berhasil mengecoh petugas pemeriksaan, sementara
ransel berhasil diterima dengan selamat oleh Imran cs tanpa diperiksa
lagi. Drama pembajakan Garuda pun berlangsung.
LB Moerdani diuntungkan oleh kasus ini, karena dia lah yang memimpin
langsung operasi pembebasan para sandera, dan melumpuhkan para pembajak.
Namanya pun kian bersinar, dan menjadi salah satu sosok yang disegani,
juga ditakuti di negeri ini. Roda selalu berputar dan sinar bintang tak selalu benderang.
Begitupula dengan karir seseorang, termasuk karir LB Moerdani. Pada
1988, Soeharto mencopotnya dari jabatan sebagai Panglima ABRI, dan sejak
itu karirnya meredup.
Setahun setelah pencopotan dilakukan, atau sekitar pertengahan 1989,
dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia, Soeharto
mengatakan begini; “Biar jenderal atau menteri, yang bertindak
inskonstitusional akan saya gebuk”.
Pernyataan Soeharto ini kontan membuat orang percaya bahwa yang
dimaksud ‘Bapak Orde Baru’ itu adalah LB Moerdani. Apalagi karena
sebelum pemecatan terjadi, Moerdani sempat menyarankan agar Soeharto
jangan maju lagi sebagai presiden pada pemilu 1993, sehingga hubungan
antara keduanya menjadi tegang.
Salah seorang yang percaya bahwa Moerdani akan melakukan kudeta
adalah Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Terkait hal ini, majalah Tempo edisi 10
Februari 2008 memberitakan begini;
“Mayjen (Purn) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad malah mengatakan Benny akan melakukan kudeta. Informasi ini menurut Kivlan Zen dilaporkan Prabowo Subiyanto kepada mertuanya (Soeharto) yang berujung pada pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang MPR 1988”.
“Mayjen (Purn) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad malah mengatakan Benny akan melakukan kudeta. Informasi ini menurut Kivlan Zen dilaporkan Prabowo Subiyanto kepada mertuanya (Soeharto) yang berujung pada pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang MPR 1988”.
Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, pasca
pemecatan, Moerdani ‘bermain’ melalui dua orang kepercayaannya, yakni
Try Soetrisno yang menggantikan dirinya sebagai Panglima ABRI, dan
Harsudiono Hartas yang menjabat sebagai Kasospol ABRI.
Berkat manuver politik Harsudiono pada pemilihan presiden 1993, BJ
Habibie yang sempat digadang-gadang bakal menjadi wakil Soeharto,
tersingkir, dan Try Sutrisno naik menjadi wakil presiden. ’Permainan’ Moerdani berhasil, karena selama Try Sutrisno menjadi
pendamping Soeharto, sepak terjang Moerdani yang selama bertahun-tahun
mendiskreditkan dan membunuhi umat Islam, tak pernah diungkit-ungkit.
Meski dia sempat diadili oleh Mahkamah Militer karena kasus Tragedi
Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menurut Solidaritas Nasional
untuk Tragedi Tanjung Priok (SONTAK) menelan korban tewas hingga sekitar
400 umat Islam, namun dia tidak menjadi tersangka dan tetap dapat
menghirup udara bebas.
Padahal seperti disebut Janet Steele dalam buku berjudul “Wars
Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru”, kasus
berdarah di kawasan Jakarta Utara ini jelas merupakan hasil operasi
intelijen. Bahkan saat diwawancarai majalah Tempo untuk edisi 19 Januari
1985, Moerdani mengakui kalau ia menyebut Tanjung Priok sebagai
“asbak”. Ini lah kutipan kata-kata LB Moerdani ketika itu.
“Ibarat seperti orang merokok, abunya tentu saja tidak boleh dibuang
di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tnjung
Priok memang sengaja dijadikan semacam ‘asbak’, tempat penyaluran
emosi”.
Untuk diketahui, Tanjung Priok merupakan salah satu basis Islam di
Jakarta dan menurut Sembodo, kawasan itu juga sedang dijadikan salah
satu basis Kristenisasi. Tak heran jika dalam waktu singkat di situ
didirikan sejumlah gereja yang pembangunannya pun tidak dirundingkan
dulu dengan warga.
Kasus Tanjung Priok meledak setelah anggota Babinsa Koja Selatan,
Jakarta Utara, bernama Sersan Satu Hermanu, meminta warga mencopot
poster berisi imbauan agar wanita mengenakan jilbab yang dipasang di
Mushala As-Saadah. Ketika permintaan ditolak, anggota Babinsa itu mencopot poster, namun tanpa mencopot sepatu dahulu kala memasuki mushala.
Warga pun marah, dan kasus berkembang menjadi pembataian massal di
Jalan Yos Sudarso, jalan utama di Jakarta Utara, yang dilakukan oleh
militer. LB Moerdani sendiri kala itu sempat mengklaim bahwa yang tewas
hanya 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Namun banyaknya warga yang hilang setelah kejadian itu membuat klaim
ini tak dipercaya. Apalagi setelah SONTAK melakukan pendataan, yang
tewas dan hilang ternyata mencapai sekitar 400 orang, sementara yang
luka juga mencapai ratusan orang.
Banyaknya warga yang hilang karena setelah pembantaian berlangsung,
jasadnya diangkut dengan kendaraan militer dan kemudian dibuang entah
kemana, dan hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.
Sembodo menyebut, dengan naiknya Try Sutrisno menjadi Wapres, Moerdani bahkan tetap dapat ‘mengendalikan’ Orde Baru. LB Moerdani meninggal pada 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, akibat stroke dan infeksi paru-paru dan dimakamkan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, dengan diiringi upacara militer.
Sembodo menyebut, dengan naiknya Try Sutrisno menjadi Wapres, Moerdani bahkan tetap dapat ‘mengendalikan’ Orde Baru. LB Moerdani meninggal pada 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, akibat stroke dan infeksi paru-paru dan dimakamkan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, dengan diiringi upacara militer.
Pater Beek telah meninggalkan jejak yang luar biasa buruk bagi bangsa
Indonesia, meski tak semua buku-buku yang membahas tentang dirinya,
seperti misalnya buku berjudul “Pater Beek SJ: Larut Tetapi Tidak
Hanyut”, tidak mengungkap secara utuh sepak terjang pastur bernama
lengkap Josephus Gerardus Beek itu selama berkiprah di Nusantara.
Maklum, buku ini merupakan sebuah autobiografi.
Penulisnya J.B Soedarmanta dan diterbitkan Penerbit Obor pada
September 2008. Buku ini bahkan menyebut Beek sebagai sosok yang
memiliki kepribadian unik, menarik : tegas, disiplin, logis, realistik,
sportif, konsekuen dan saleh. (Suksesor yang membawa Demokrasi dan HAM keIndonesia).
Namun demikian, buku ini juga menyebut peranan besar Beek dalam
pengembangan agama Katolik di Indonesia, dan juga merupakan pendiri CSIS
serta Kasebul. Bahkan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Indonesia
(Kabakin) Letjen Soetopo Yuwono pernah meminta Vatikan agar menarik
orang ini, dan dikabulkan. Namun Beek kembali lagi ke Indonesia pada
1974. Selain itu, sepak terjang Beek juga sempat membuat pastur-pastur yang
lain gerah, sehingga mereka mengajukan protes, dan salah seorang
koleganya mengatakan begini;
“Secara teoretis, idenya sebetulnya positif, tetapi pada prakteknya menjadi kisruh.” Ya namanya juga intel CIA, Pastur cuma kedoK. Beek meninggal pada 17 September 1983 di RS Saint Carolus, Jakarta,
dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Giri Sonta, kompleks pemakaman dan
peristirahatan ordo Serikat Yesus di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Sebelum meninggal, seperti ditulis Benny G. Setiono dalam buku
berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, kepada Oei Tjoe Tat, seorang
politikus, Pater Beek mengaku terus terang bahwa ia sangat menyesal dan
kecewa ikut mendongkel Presiden Soekarno karena pemerintahan
penggantinya yang dipimpin Soeharto ternyata jauh lebih jelek dari
perkiraannya. Bahkan lebih jelek dari pemerintahan Sukarno. Itu sebabnya
ia 4 (empat) kali ziarah ke makam Bung Karno untuk mohon ampun atas
segala dosa-dosanya. (Udah mampus baru insaf... preeeet).
Mungkin, dari apa yang telah diungkap ulang pada blog ini, sejarah
bangsa Indonesia harus ditulis ulang agar para siswa dan mahasiswa
mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sejarah negerinya sendiri,
sehingga mereka dapat belajar dari masa lalu, dan memberikan yang
terbaik untuk masa kini. Sebab, apa yang terjadi di masa kini juga
merupakan buah dari perjalanan sejarah masa lalu.
Membiarkan saja sejarah yang ditulis di atas kebohongan akan membuat
Indonesia makin terjerumus dalam beragam kesulitan yang sulit diakhiri,
karena sama saja artinya membiarkan negara ini tetap dalam genggaman
para pembohong pencipta kebohongan sejarah itu. Waktu telah membuktikan, rezim pembohong takkan dapat memakmurkan
rakyat. Kasus penguasaan lahan tambang di Papua oleh Freeport adalah
salah satu contohnyanya, karena demi kepentingan pribadi, lahan yang
seharusnya dapat memakmurkan masyarakat sekitar, justru hanya membuat
masyarakat kian merana, terjerembab dalam kemiskinan yang kian dalam.
Kita butuh pionir untuk dapat meluruskan sejarah, pionir yang kredibel, akuntabel, dan memiliki mental negarawan sejati, bukan negarawan yang mengaku peduli pada kepentingan bangsa dan negara, namun ternyata antek negara lain yang memiliki peran besar dalam merusak negeri ini.
Sumber: