Papua Merdeka: Target Amerika dan sekutunya (Bagian 1) setelah Timor Leste dipecah dari Indonesia


Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sekarang secara gencar mengembangkan manuver internasionalnya lewat Free West Papua Campaign, kiranya perlu dicermati secara intensif dan penuh kewaspadaan. Betapa tidak. Pada 28 April 2013 lalu, kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris secara resmi dibuka. Tak pelak lagi, hal ini mengindikasikan semakin kuatnya tren ke arah internasionalisasi isu Papua tidak saja di Amerika Serikat, melainkan juga di Inggris, Australia dan Belanda.


Bayangkan, pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, anggota Parlemen Inggris, Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin. Bagaimanapun juga hal ini secara terang-benderang menggambarkan adanya dukungan nyata dari berbagai elemen strategis Inggris baik di pemerintahan, parlemen dan tentu saja Lembaga Swadaya Masyarakat.

Mari kita simak pernyataan anggota parlemen Andrew Smith, dalam acara pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris tersebut. “Kami akan bekerja sama dengan orang-orang di kantor baru kami di Port Moresby, PNG pada strategi menuju tujuan penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.”

Pernyataan Andrew Smith harus dibaca sebagai isyarat bahwa gerakan internasionalisasi Papua sedang gencar dilakukan baik di lini pemerintahan maupun  parlemen di Amerika, Inggris, Australia dan Belanda. Penekanan Andrew Smith terkait upaya melibatkan PNG, harus dibaca sebagai bagian integral dari aliansi strategis Amerika Serikat-Inggris-Australia untuk meng-internasionalisasi isu Papua, sebagai langkah awal menuju kemerdekaan Papua, lepas dari Indonesia.

Kekhawatiran tersebut kiranya cukup beralasan, karena dua bulan setelah peresmian kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris, kelompok Jhon Otto Ondawame dan Andy Ayamiseba melalui organisasi West Papua National National Coalition for Liberation (WPNCL) diundang ke KTT ke-19 forum negara-negara rumpun Melanesia (Melanesian Spearhead Group/ MSG) di Noumea, New Caledonia. Tindak lanjut dari KTT MSG itu, mereka akan mengirimkan delegasi para Menlu ke Jakarta dan Papua untuk memantau perkembangan kondisi HAM.

Gerakan Internasionalisasi Papua Bermula dari Washington (US)

Ini bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di Kementerian Luar Negeri RI mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap. Gerakan ini sudah bermula sejak awal 2000-an.

Informasi ini kiranya masuk akal juga. Dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih sejak 2008 lalu,  praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin. Maka kejadian pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris April lalu, sudah seharusnya dipandang sebagai bukti nyata bahwa gerakan internasionalisasi Papua yang dirintis oleh beberapa anggota Kongres dari Partai Demokrat di Washington, memang tidak bisa dianggap enteng.

Beberapa fakta lapangan lain juga cukup mendukung. Sejak pertengahan 2000-an, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yahg secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.

Kalau RUU ini lolos, berarti ada beberapa elemen strategis di Washington yang memang berencana mendukung sebuah opsi untuk memerdekakan Papua secara bertahap. Dan ini berarti, sarana dan perangkat yang akan dimainkan Amerika dalam menggolkan opsi ini adalah, melalui operasi intelijen yang bersifat tertutup dan memanfaatkan jaringan bawah tanah yang sudah dibina CIA maupun intelijen Departemen Luar Negeri Amerika. Bukan melalui sarana invasi militer seperti yang dilakukan George W. Bush di Irak dan Afghanistan.

Maka Kementerian Luar Negeri RI haruslah siap dari sekarang untuk mengantisipasi skenario baru Amerika dalam menciptakan aksi destabilisasi di Papua. Berarti, Kementerian Luar Negeri harus mulai menyadari bahwa Amerika tidak akan lagi sekadar menyerukan berbagai elemen di TNI maupun kepolisian untuk menghentikan adanya pelanggaran- pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
 
Dengan kata lain, Undang-Undang Foreign Relation Authorization Act (FRAA) akan dijadikan Pintu Masuk Menuju Papua Merdeka. Melalui FRAA ini, Amerika akan menindaklanjuti UU FRAA ini melalui serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Skenario semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sialnya kita juga lemah di fron diplomasi maupun fron intelijen. Padahal, skema di balik dukungan Obama dan Demokrat melalui UU FRAA, justru diplomasi dan intelijen menjadi strategi dan sarana yang dimainkan Washington untuk menggolkan kemerdekaan Papua.

Waspadai Modus Kosovo Untuk Papua Merdeka
Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.

Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).

Seperti halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua dengan adanya serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.

Lucunya, beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap serangan balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai tindakan melanggar HAM Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat intelijen kita seperti BIN maupun BAIS seharusnya sudah tahu hal akan dimainkan Amerika ketika Obama yang kebetulan sama-sama dari partai Demokrat, tampil terpilih sebagai Presiden Amerika.

Isu-isu HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian internal konflik di Papua.

Di sinilah sisi rawan UU FRAA jika nantinya lolos di kongres. Sebab dalam salah satu klausulnya, mengharuskan Departemen Luar Negeri Amerika melaporkan kepada kongres Amerika terkait pelanggaran- pelanggaran HAM di Papua.

Maka, kejadian tewasnya 8 anggota TNI, jangan dibaca semata sebagai konsekwesnsi Perang antara TNI dan OPM, tapi lebih dari itu, untuk membenturkan antara TNI dan warga sipil Papua, yang nantinya seakan semua warga sipil Papua adalah OPM.

Rand Corporation Rekomendasikan Indonesia Dipecah Jadi 7 Wilayah
Dalam buku saya, Tangan-Tangan Amerika (Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia), terbitan Global Future Institute pada 2010, bahwa dalam skema yang dirancang Pentagon melalui rekomendasi studi Rand Corporation, Indonesia harus dibagi 8 wilayah, yang mana salah satu prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua. Ini yang kemudian saya istilahkan dalam buku saya sebagai BALKANISASI NUSANTARA.


Melalui skema Presiden Obama sejak 2008, dengan menggunakan jargon demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi duri dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke depan.

Rekomendasi macam ini jelas tidak main-main mengingat kenyataan bahwa Rand Corporation merupakan sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon pula. Sehingga bisa dipastikan rekomendasi-rekomendasi studi Rand Corporation ditujukan untuk menyuarakan kebijakan strategis Pentagon dan Gedung Putih.

Dengan demikian, internasionalisasi Papua dan Bahkan Aceh, yang sudah menerapkan otonomi daerah, ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang. Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi 7 bagian.

Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.

Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.

Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa pemerinthan BJ Habibie. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan (telah) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun ini. Kemudian Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya tetap Indonesia.

Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer. Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton, yang di era kedua kepresidenan Obama diteruskan oleh Menlu John Kerry,  akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.

Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Menyadari kenyataan ini, rencana OPM berikutnya untuk membuka kantor perwakilannya di Belanda Agustus ini, kiranya menjadi satu hal yang logis. Berarti, Uni Eropa berperan besar dalam gerakan internasionalisasi Papua ini.

Dan hal ini, sudah terbukti melalui MOUS Helsinki untuk Aceh. Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.

Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari skenario internasionalisasi Aceh, Irian Jaya, dan daerah-daerah lainnya yang berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI. Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini. Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode yang berbeda.
 
Beberapa Sosok Asing di balik Gerakan Pro Papua Merdeka

Salah satu sosok yang harus dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua Black Caucuses Amerika yang mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni VOC bukan koloni Belanda di Kongres Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai Demokrat dari American Samoa ini memimpin sekitar 38 anggota Black Caucuses yang mengklaim bahwa cepat atau lambat Papua akan merdeka.

Pengaruh tokoh satu ini ternyata tidak bisa dianggap enteng. Mari kita berkilas-balik sejenak.
Pada 2002, tak kurang dari Departemen Luar Negeri AS terpaksa menerbitkan Buku Putih Deplu tentang Papua pada 2002. Disebutkan bahwa Irian Jaya masuk Indonesia pada 1826. Sementara Pepera merupakan pengesahan atau legalitas masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.

Bayangkan saja, Departemen Luar Negeri AS sampai harus meladeni seorang anggota parlemen seperti Eni Faleomavaega. Dan ternyata manuver Eni tidak sebatas di Amerika saja. Melalui LSM yang dia bentuk, Robert Kennedy Memorial Human Right Center, Eni dan 9 orang temannya dari Partai Demokrat, melakukan tekanan terhadap Perdana Menteri John Howard, agar memberi perlindungan terhadap 43 warga Papua yang mencari suaka di di Australia. Alasannya, mereka ini telah menjadi korban pelanggaran HAM TNI.

Di Australia, Bob Brown, politisi Partai Hijau Australia, juga santer mendukung gerakan pro Papua Merdeka, dengan mendesak pemerintahan Howard ketika itu untuk mendukung proses kemerdekaan Papua. Tentu saja usul gila-gilaan itu ditampik Howard, namun sebagai kompensasi, pemerintah Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua.

Tentu saja hubungan diplomatik Australia-RI jadi memanas, apalagi berkembang isu ketika itu bahwa ke-43 warga Papua cari suaka ke Australia itu sebenarnya merupakan “agen-agen binaan” Australia yang memang akan ditarik mundur kembali ke Australia. Artinya, permintaan suaka itu hanya alasan saja agar mereka tidak lagi bertugas menjalankan operasi intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai jaringan intelijen asing di Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak intelijen Indonesia.


Dan isyarat ini secara gamblang dinyatakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan waktu itu, Widodo AS. Menurut Widodo, pemberian visa sementara kepada warga Papua oleh Australia, telah membenarkan adanya spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang membantu usaha kemerdekaan Papua.

Menurut penulis, dan kami-kami di Global Future Institute, pernyataan Widodo sebenarnya sebuah sindiran atau serangan halus terhadap gerakan asing pro Papua merdeka. Bahwa yang sebenarnya bukan sekadar adanya elemen-elemen di Australia yang membantu kemerdekaan Papua, tapi memang ada suatu operasi intelijen dengan target utama adanya Papua Merdeka terpisah dari NKRI.

Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya juga harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan apa yang dinamakan International Parliaments for West Papua (IPWP) di House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan PBB.

Jelaslah sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan PBB dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969, sekaligus mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.

Agar kita sebagai elemen bangsa yang tidak ingin kehilangan provinsi yang kedua kali setelah Timor Timur, ada baiknya kita mencermati skenario Kosovo merdeka.

Kosovo terpisah dari negara bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan didahului adanya tuduhan pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua Barat dianggap mempunyai kesamaan latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu, Indonesia dan Serbia dipandang punya track record buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Sehingga mereka mengembangkan isu bahwa Kosovo perlu mendapat dukungan internasional. Inilah yang kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 244 .

Seperti halnya juga dengan Kosovo yang memiliki nilai strategis dalam geopolitik di mata Amerika dan Inggris, untuk menghadapi pesaing globalnya, Rusia. Begitu pula di Papua, ketika perusahaan tambang Amerika Freeport dan perusahaan LNG Inggris, merupakan dua aset ekonomi mereka untuk mengeruk habis kekayaan alam di bumi Papua. Sekaligus untuk strategi pembendungan AS terhadap pengaruh Cina di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.

Waspadai Balkanisasi Nusantara
1.Indonesia ada rencana hendak dibelah dengan memakai model Polinesia (negara pulau) di Lautan Pasifik. Sehingga mulai beredar pengguliran Isu Negara Timor Raya di Provinsi Nusa Tenggara Timur mulai santer terdengar.
2. Indonesia akan dibelah jadi tiga negara dengan berdasar pada klasifikasi provinsi ekonomi kuat dengan rincian sebagai berikut:
a. Aceh, Riau dan United Borneao(Kalimantan).
b. Pusat wisata dan seni dunia semacam Bali, Flores, Maluku dan Manado,
c. Jawa, Sunda dan Daerah Khusus Jakarta.

MODUS OPERANDI
Dengan melihat perkembangan terkini berdasarkan prakarsa dua anggota Kongres AS untuk menggolkan seruan resolusi agar Baluchistan diberi hak sejarah menentukan nasib sendiri dan negara sendiri, lepas dari Pakistan, maka Global Future Institute merasa perlu mengingatkan kemungkinan langkah langkah dua tahap yang akan ditempuh Amerika Serikat dan Sekutu-sekutu Eropanya:

1. Melakukan Internasionalisasi Isu Provinsi yang bermaksud ingin merdeka dan lepas dari negara induknya. Keberhasilan prakarsa dua anggota Kongres AS menggolkan resolusi Baluchistan, bisa jadi preseden bagi langkah serupa terhadap Papua.

2. Seiring dengan keberhasilan gerakan meng-internasionalisasi provinsi yang diproyeksikan akan jadi merdeka, maka REFERENDUM kemudian dijadikan pola dan modus operandi memerdekakan sebuah provinsi dan lepas dari negara induk.

Demikian, semoga menjadi perhatian dan kewaspadaan semua elemen bangsa, dan pemegang otoritas pemerintahan.

Prakarsa Anggota Kongres Dana Rohrabacher, Bukti Nyata Gerakan Sistematis Washington Merdekakan Baluchistan Lepas dari Pakistan Kalau Amerika Serikat berniat memecah Indonesia jadi 7 bagian, seperti sempat dirilis oleh Rand Corporation pada 1998 lalu, kasus Baluchistan bisa jadi bukti nyata bahwa gerakan separatism memang bagian dari rencana strategis Washinton.

Baru-baru ini, Dana Rohrabacher, anggota Kongres dari Partai Republik asal negara bagian California, telah mengajukan sebuah resolusi yang pada intinya menegaskan bahwa Baluchistan mempunyai hak sejarah untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa. Dengan kata lain, Dana Rohrabacher mendukung berdirinya Baluchistan sebagai negara merdeka.

Seperti kita ketahui bersama, Baluchistan saat ini terbagi menjadi daerah yang masuk dalam kedaulatan Pakistan, Iran dan Afghanistan. Mengingat nilai strategis Baluchistan sebagai daerah jalur sutra yang kaya sumberdaya alam seperti minyak, gas dan tambang, bisa dimengerti jika Washington secara sistematis sedang membantu elemen elemen pro kemerdekaan Baluchistan untuk jadi negara tersendiri yang bebas dari orbit pengaruh Iran, Afghanistan dan Pakistan.

Terbukti bahwa prakarsa Dana Rohbacher tersebut kemudian mendapat dukungan dari dua anggota Kongres lainnya seperti Louie Gohmert dari negara bagian Texas, dan Steve King, dari negara bagian Iowa, keduanya juga dari Partai Republik.

Manuver Washington untuk mendorong kemerdekaan Baluchistan nampaknya memang cukup serius mengingat fakta bahwa Dana Rohrabacher saat ini menjabat sebagai Ketua Sub-Komite Kongres bidang luar negeri khusus bidang pengawasan dan investigasi.

Karena itu masalah sepertinya akan semakin krusial karena Rohrabacher menegaskan bahwa salah satu pertimbangan mengapa dirinya memprakarsai resolusi Kongres Amerika agar mendukung kemerdekaan Baluchistan, karena adanya bukti bukti kuat tindak kekerasan dan korban pembunuhan diluar jalur jalur hukum (Extra Judicial Killing).

Pada 1947, Baluchistan memang sempat bermaksud memerdekakan diri, namun kemudian berhasil digagalkan oleh Pemerintah Pakistan. Maka menghadapi gerakan Washington melalui prakarsa Dana Rohrabacher dan kawan-kawan di Kongres ini, Pakistan lah pihak yang paling duluan merasa kebakaran jenggot.

Tentu saja menghadapi manuver Rohrabacher Cs ini, Pakistan mengecam prakarsa ini sebagai bentuk campur tangan  terhadap urusan dalam negeri Pakistan. Betapa tidak. Pakistan beranggapan bahwa Baluchistan merupakan salah satu provinsi yang menjadi bagian dari Pakistan.

Mengingat masalah separatism ini sangat sensitif, nampaknya Gedung Putih, dalam hal ini Departemen Luar Negeri, belum berani secara langsung membuka fron terhadap pemerintah Pakistan. Terlepas adanya berbagai pandangan yang melihat Baluchistan selama ini memang menjadi obyek eksploitasi para elit politik suku Pastun dan Punjabi di Pakistan, rasa rasanya penilaian Pakistan bahwa Amerika Serikat sedang melakukan campur tangan urusan dalam negeri Pakistan, untuk mendorong gerakan kemerdekaan Baluchistan, memang benar adanya.

Kiranya ini bisa menjadi early warning signal bagi pemerintah Indonesia, bahwa gerakan kaukus Papua di Kongres Amerika untuk mendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) memerdekakan Papua, cepat atau lambat akan diagendakan kembali. Atau setidaknya, mengkondisikan Papua agar bisa diangkat ke forum internasional (Internasionalisasi Papua).

Timor Leste Menyesal Merdeka dari Indonesia!
JAKARTA - Psikolog politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk mengatakan berbagai konflik politik yang terus-menerus terjadi di Negara Timor Leste menunjukkan bahwa untuk mendirikan sebuah negara itu tidak mudah.

"Setelah keluar dari Indonesia, hingga kini elit Timor Leste terus saja berseteru untuk berbagai hal. Secara psikologi politik, ini menunjukkan bahwa membentuk suatu negara itu tidak mudah. Bahkan dari berbagai pernyataan elit Timor Leste, terlihat rasa penyesalan setelah berpisah dengan Indonesia," kata Hamdi Muluk, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Senin (26/8).

Mereka lanjut Hamdi, baru saat ini sadar kalau membikin suatu rumah besar itu ternyata sulit. Beda saat mereka masih di NKRI. Menurut Hamdi, semuanya disediakan.

Beda halnya dengan proses terbentuknya NKRI. Menurut Hamdi, NKRI ini ada karena keinginan dari seluruh nusantara untuk bersatu dalam satu kesatuan yang kita kenal NKRI melalui Sumpah Pemuda pada  tanggal 28 Oktober 1928.

"Bahwa ada penyelenggara NKRI yang terindikasi korupsi dan mengelola negara tidak berpedoman kepada konstituasi, itu soal lain lagi. Ibarat organisasi, itu yang bermasalah pengurusnya, bukan organisasinya. Pengurus bisa saja diganti berdasarkan konsensus nasional. Tapi yang namanya NKRI harus tetap berdiri tegak karena Sumpah Pemuda itu," ungkap Hamdi Muluk.

Dia yakin dan optimis Indonesia utuh sampai kapan pun karena motivasi mendirikan NKRI didasari atas satu kesadaran, bukan paksaan. "Problem kita sekarang kan pengurusnya yang tidak kapabel. Ini saja mestinya yang dibenahi. Jangan rumahnya yang dibakar," harap Profesor Hamdi Mulu. [JPNN]

Sumber: Timor Leste Menyesal Merdeka dari Indonesia ! 


Indonesia is one of Target of US Marines
 
The archipelago of Indonesia does not lend itself to easy governance or security. The country stretches for 5,200 kilometers (3,200 miles) from west to east—further than from Los Angeles to New York, or from London to Baghdad. The archipelago contains more than 17,500 islands. This makes border control next to impossible. While the country is predominantly Muslim (the largest Islamic population in the world), Indonesia is home to myriad ethnic identities who speak several different languages. Quality of life varies radically across the archipelago. Some provinces have average incomes 12 times higher than others. Life expectancy can vary by 13 years from one island to the next. The population is transitioning to a democracy while it recovers from economic collapse.

Over the past 6 years, Indonesia has undergone a remarkable transformation from near-dictatorship to democracy. Despite this, Indonesians have little to show for it. Since the economic collapse in 1996 and the movement to democracy in 1998, Indonesia has benefited from only half the growth rate it averaged under dictatorship. At the same time, the unemployment rate has nearly doubled. Economists estimate that another 30 percent of the workforce is underemployed. These figures are climbing steadily as some 2 million young Indonesians enter the job market yearly.

The newly emerging democracy has not yet thoroughly overcome the traditions of corruption and ineffectiveness. This feeling that progress has stalled is leading many, once secular, young Indonesians to radicalize, and some liberal Muslims to turn orthodox. Indonesia’s social environment is ripe for recruitment by non-state insurgent/terrorist groups who promise opportunities the state failed to deliver. Violent groups (such as separatists in Aceh and Jemaah Islamiyaah), use the population’s economic, political, and social frustrations to support their antigovernment agenda. If democracy fails, an ill-governed and impoverished Indonesia might inevitably export terrorism, piracy, pollution, instability, and illegal immigrants to its neighbors. It would also disrupt shipping in the Strait of Malacca, a transit point for a quarter of the world's seaborne trade.

Source : US Marines Midrange Threat Estimate 2005-2015

Timor Leste menyesal Merdeka dari Indonesia

Psikolog politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk mengatakan berbagai konflik politik yang terus-menerus terjadi di Negara Timor Leste menunjukkan bahwa untuk mendirikan sebuah negara itu tidak mudah.

"Setelah keluar dari Indonesia, hingga kini elit Timor Leste terus saja berseteru untuk berbagai hal. Secara psikologi politik, ini menunjukkan bahwa membentuk suatu negara itu tidak mudah. Bahkan dari berbagai pernyataan elit Timor Leste, terlihat rasa penyesalan setelah berpisah dengan Indonesia," kata Hamdi Muluk, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Senin (26/8).

Mereka lanjut Hamdi, baru saat ini sadar kalau membikin suatu rumah besar itu ternyata sulit. Beda saat mereka masih di NKRI. Menurut Hamdi, semuanya disediakan.

Beda halnya dengan proses terbentuknya NKRI. Menurut Hamdi, NKRI ini ada karena keinginan dari seluruh nusantara untuk bersatu dalam satu kesatuan yang kita kenal NKRI melalui Sumpah Pemuda pada  tanggal 28 Oktober 1928.

"Bahwa ada penyelenggara NKRI yang terindikasi korupsi dan mengelola negara tidak berpedoman kepada konstituasi, itu soal lain lagi. Ibarat organisasi, itu yang bermasalah pengurusnya, bukan organisasinya. Pengurus bisa saja diganti berdasarkan konsensus nasional. Tapi yang namanya NKRI harus tetap berdiri tegak karena Sumpah Pemuda itu," ungkap Hamdi Muluk.

Dia yakin dan optimis Indonesia utuh sampai kapan pun karena motivasi mendirikan NKRI didasari atas satu kesadaran, bukan paksaan. "Problem kita sekarang kan pengurusnya yang tidak kapabel. Ini saja mestinya yang dibenahi. Jangan rumahnya yang dibakar," harap Profesor Hamdi Mulu. [JPNN]