Papua Merdeka: Target Amerika dan sekutunya (Bagian 2)



Operasi Trikora


Tanggal 19 Desember 1961 - 15 Agustus 1962
Lokasi Papua bagian barat
Hasil Papua bagian barat digabungkan kepada Indonesia.
Casus belli Indonesia dan Belanda memperebutkan daerah Papua bagian barat
Apa yang dilakukan oleh Soekarno, ketika Belanda mengingkari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Irian Jaya belum juga mau diserahkan kepada Indonesia ? Sejak satu tahun usai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, Indonesia selalu mengajak Belanda untuk berunding mengenai penyerahan wilayah yang masih dikuasasinya. Apa tanggapan Belanda ? Jelas, secara sengaja Belanda selalu menghindar untuk berunding. Jelas, Belanda hendak mengingkari janjinya sendiri dan berniat untuk terus menjadikan Irian Jaya sebagai bagian dari daerah kekuasaannya. 1. Melakukan Upaya Diplomasi di PBB Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan. Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) terkesan makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi. Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut. 2. Melakukan Aksi Lain dan Pemutusan Hubungan dengan Belanda Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif. Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960, Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya : “Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral ...... Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” 3. Menambah Kekuatan Militer dengan Membeli Banyak Senjata Berat Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari tangan Belanda. Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu sekutunya saat itu, yaitu Belanda. Maka, terjadilah pembelian persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara, antara lain Uni Sovyet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MIG-15, 49 pesawat buru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergapMIG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MIG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang kemudian diberi nama KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Iliyushin IL-28; 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16; dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B; 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules. Juga ditambah dengan memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. Kesemuanya itu, telah membuat militer RI menjadi yang terkuat di kawasan Asia pada saat itu. 4. Melakukan Konfrontasi Langsung, Menyerbu Irian Jaya Upaya serius inilah yang membuat AS mulai berfikir relistis. Sehingga, salah seorang diplomatnya melakukan insiatif untuk mengajukan usulan mengenai penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia dalam waktu dua tahun, setelah melalui penguasaan mandat PBB dan proses penentuan pendapat rakyat Irian Jaya. Apa reaksi Belanda ? Tetap saja keras kepala. Belanda tidak mau berubah dari posisinya, tidak mau menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia. Bahkan, Belanda hendak mendirikan sebuah negara boneka Papua di sana. Inilah yang membuat Soekarno begitu geram. Maka, dikeluarkanlah sebuah kebijakan bernama “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai : “Politik konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”. Inilah yang kemudian mendasari kebijakan penyusupan pasukan militer Indonesia secara besar-besaran ke Irian Jaya melalui operasi Trikora dalam Komando Mandala, dibawah pimpinan Mayjen Soeharto (mantan Presiden). Sebuah kenyataan yang sebelumnya jauh dari perkiraan Belanda, bahwa ternyata Indonesia bisa melakukan pendaratan pasukan di tanah Irian. 5. Belanda, Akhirnya Menyerah Inilah yang kemudian, pada akhirnya Belanda mau menyerah, dan mau berunding soal penyerahan Irian Jaya. Tepat 1 Mei 1963 Irian Jaya dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia melalui PBB (UNTEA). Setelah melalui rapat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung pada Maret-Agustus 1969, maka tepat pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Majelis Umum PBB menyetujui Irian Jaya kembali sebagai bagian wilayah NKRI yang sah. Terima kasih Bung Karno, para pejuang dan para pahlawan, warga Irian Jaya (Papua) dan seluruh rakyat Indonesia. Hingga kini wilayah itu masih utuh menjadi bagian dari NKRI yang kita cintai. IRIAN, Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Demikian, terima kasih Salam Persahabatan Srie Sumber tulisan : Karya Tulis “Aktualisai Semangat Pertempuran Laut Aru Dalam Mempertahankan Kedaulatan Wilayah NKRI” Oleh Sri Endang Susetiawati.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22

Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
  

LATAR BELAKANG

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.

Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

PERSIAPAN 

1. MILITER
Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jendral A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan. Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan "menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". 

KRI Irian, Penjelajah kelas Sverdlov
Tapi pada bulan April 1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet bila tidak mendapat dukungan AS.

Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.


2. DIPLOMASI
Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, Jerman, dan Perancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB U Thant meminta Ellsworth Bunker, diplomat dari Amerika Serikat, untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah status Papua bagian barat. Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu 2 tahun.

3. EKONOMI
Pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti:
- Perusahaan Perkebunan
- Nederlandsche Handel-Maatschappij
- Perusahaan Listrik
- Perusahaan Perminyakan
- Rumah Sakit (CBZ) menjadi RSCM
- Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:
  1. Memindahkan pasar pelelangan tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat)
  2. Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia
  3. Melarang KLM (maskapai penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia
  4. Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda

4. KONFRONTASI TOTAL
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut:
  • Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia.
  • Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia.
Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut.
  • Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
  • Tahap Eksploitasi (awal 1963),yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
  • Tahap Konsolidasi (awal 1964),yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.

KONFLIK BERSENJATA

Presiden Soekarno
Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia. Belanda mengirimkan kapal induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan di perairan Papua bagian barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur pertahanan Papua Barat terdiri dari:
  • Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda)
  • Korps Mariniers
  • Marine Luchtvaartdienst
Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda terus bertambah dengan kesatuan dari Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan Marine Luchtvaartdienst. Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan Darat merupakan bagian dari Resimen Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari 3 batalyon yang ditempatkan di Sorong, Fakfak, Merauke, Kaimana, dan Teminabuan.

Operasi-operasi Indonesia

Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua bagian barat. Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.

Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udara untuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI AL.

Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.

Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa resimen tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian barat. Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo disiagakan di Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda.

Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules kembali ke pangkalan. Namun, pada tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi menjadi gagal.

Pertempuran Laut Aru

Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli pada posisi 4°49' LS dan 135°02' BT. Menjelang pukul 21:00 WIT, Kolonel Mursyid melihat tanda di radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak, dimana berarti kapal itu sedang berhenti. Ketika 3 KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut.

Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan. Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".

Operasi penerjunan penerbang Indonesia

Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada malam hari. Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya, penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda.

Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan pasukan menyampaikan bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu juga disampaikan sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul, lalu mengadakan pemeriksaan kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke pesawat Hercules. Pada pukul 03:30 WIT, pesawat Hercules yang dikemudikan Mayor Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.

Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses pendaratan 81 penerjun payung selesai dan pesawat Hercules segera meninggalkan daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat Neptune milik Belanda.

TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.

AKHIR DARI KONFLIK

Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.

Presiden AS dan Presiden Indonesia

Persetujuan New York

Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. 

Isi dari Persetujuan New York adalah:
  • Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
  • Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
  • Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
  • UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
  • Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui
    1. musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat
    2. penetapan tanggal penentuan pendapat
    3. perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk
      • tetap bergabung dengan Indonesia; atau
      • memisahkan diri dari Indonesia
    4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional
  • Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru, dan pada 5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965. 

Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.

Penentuan Pendapat Rakyat

Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi. 

Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia. Papua bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.

Setelah penggabungan

Patung Pembebasan Papua
Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:
  1. Papua bagian barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda
  2. Belanda berjanji menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
  3. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
  4. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.

Sumber:  



Ketika Freeport menjadi aktor dibalik ‘Jatuhnya’ Presiden Soekarno


Lingkarannews.com- Bermula dari memburuknya hubungan Soekarno dengan Belanda, disusul dengan usaha pembunuhan atas Soekarno (Soekarno menuduh Belanda sebagai dalang usaha pembunuhan atas dirinya), Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi aset kemudian menyita semua kepemilikan usaha Belanda. Tentu kebijakan ini merugikan kepentingan bisnis Amerika, apalagi salah satu perusahaan Amerika, Freeport Sulphur Company, sudah teken kontrak untuk mengeksplorasi kekayaan alam Papua (baca: Freeport).

CIA tidak tinggal diam, setelah gagal membentuk pemerintahan Pro-Barat melalui pemilu Tahun 1958, Deputy Direktur Perencanaan CIA, Frank Wisner, menggelar Operasi Hike. Operasi yang bertujuan membentuk tentara bayaran. Terdiri dari puluhan ribu warga Indonesia yang dipersenjatai dengan harapan dapat menggulingkan pemerintahan Soekarno.

Selain kegiatan paramiliter, CIA juga melancarkan perang psikologis untuk mendiskreditkan Soekarno, seperti menyebar isu bahwa Soekarno telah dirayu oleh seorang pramugari Soviet. Untuk itu, Sheffield Edwards, Kepala Keamanan CIA, meminta Kepala Kepolisian Los Angeles untuk membantu pembuatan film porno untuk melawan Sukarno, seolah-olah menunjukkan Sukarno-lah pelakunya. Pihak lain yang terlibat dalam upaya ini adalah Robert Maheu, Bing Crosby dan saudaranya.

CIA berusaha mempertahankan keberlangsungan program ini, tapi salah satu ‘tentara bayaran’ tertangkap saat akan melakukan pemboman. Semua bukti menjurus kepada keterlibatan CIA tak terbantahkan. Namun CIA tetap mengelak. Soekarno tidak gentar, dia menggalang semua kekuatan yang setia kepadanya dan menghancurkan semua pemberontakan yang didukung oleh CIA.

Ketika masa pemerintahan Kennedy, Amerika punya kebijakan lain. Dasar pijakannya adalah, Kennedy berpandangan bahwa akrabnya Soekarno dengan Komunis lebih disebabkan karena Soekarno membutuhkan bantuan senjata dan ekonomi. Bukan karena Soekarno memang seorang Komunis. Terbukti pada tahun 1948 Soekarno memadamkan pemberontakan komunis. Bahkan Departemen Luar Negeri di Amerika Serikat mengakui bahwa Sukarno lebih nasionalis ketimbang Komunis.

Namun sengketa Irian Barat menimbulkan dilema bagi Amerika. Satu sisi Belanda adalah sekutu dekat, di sisi lain Amerika pun tengah berusaha menggandeng Indonesia. Akhirnya, Kennedy menekan Belanda di belakang layar untuk mundur dari Irian Barat. Belanda pun mundur. Mundurnya Belanda membuat perjanjian kerjasama Freeport dengan East Borneo Company mentah kembali. Freeport semakin marah begitu mengetahui Kennedy juga akan memberikan bantuan 11 juta Dollar kepada Indonesia.

Menurut banyak pihak, peristiwa pembunuhan Kennedy tidak lepas dari kebijakan-kebijakan Kennedy yang tidak mewakili kepentingan kaum globalis.

Hingga pada masa Johnson tahun 1963, semua berbalik 180 derajat. Johnson mengurangi program bantuan atas Indonesia. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport (perusahaan yang gagal mengeksplorasi papua) yang terpukul dengan kebijakan Soekarno dimana 60% laba perminyakan harus diserahkan kepada Indonesia.

Perlu kita ketahui, Augustus C.Long adalah orang yang punya pengaruh di Amerika kala itu. Selain dekat dengan CIA dan tokoh Globalis berpengaruh , Rockefeller, dia juga pernah menjabat posisi strategis dalam pemerintahan Amerika sebagai anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Dan Long diyakini sebagai salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno.

Hingga pada akhirnya Soekarno lengser dan Indonesia dipimpin oleh Soeharto. Tentu saja peristiwa ini terjadi atas rekayasa Amerika.

Naiknya Soeharto ke tampuk pimpinan membuat Freeport Sulphur Company bernapas lega. ketika UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss, dan didektekan oleh Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport Sulphur Company, Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia.
       
   
Berikut diantara kerugian-kerugian yang tercatat dalam perjanjian tersebut:
  • Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
  • Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
  • Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.

Sumber: 
Ketika Freeport menjadi aktor dibalik ‘Jatuhnya’ Presiden Soekarno
  

Antara Freeport, Freemasonry dan Free (bebas) melakukan Imprealisme demi Sumber Daya Alam


Lingkarannews.com- Ada yang tahu Imprealisme itu berbeda makna dengan Kolonialisme, pengertian imprealisme itu sendiri ialah sebuah [kebijakan] di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah cont oh imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu.

Dan apa yang dipertontonkan Freeport pada era modern saat ini adalah sebuah contoh Imprealisme modern yang dilakukan para kaum Freemasonry dunia.


Sementara Freemasonry adalah sebuah organisasi persaudaraan yang asal-usulnya tidak jelas antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Freemasonry kini ada dalam beragam bentuk di seluruh dunia dengan jumlah anggota diperkirakan sekitar 6 juta orang, termasuk 150.000 orang di bawah yurisdiksi Loji Besar Skotlandia dan Loji Besar Irlandia, lebih dari seperempat juga orang di bawah yurisdiksi Loji Besar Bersatu Inggris dan kurang dari dua juta orang di Amerika Serikat.

Organisasi Freemasonry tidak mempunyai pusat dan setiap negara mempunyai organisasi yang berdiri sendiri. Sekalipun demikian setiap organisasi Freemasonry di mana pun akan mempunyai nomor pendirian dan berhubungan satu dengan lainnya. Freemasonry juga mempunyai Master tertinggi yang merupakan master tertinggi dari seluruh Master Freemasonry yang bertugas melakukan koordinasi seluruh Freemasonry yang ada di dunia.

Mengapa Freeport bisa dikaitkan dengan gerakan freemasonry?, karena freeport dikuasai oleh seorang yahudi yang terkenal bernama Rockefeller; dan nama Rockefeller ini sering bersanding dengan para anggota freemasonry lainnya seperti george soros (chevron) dan Rothchilds untuk mengendalikan sumber daya alam didunia.

Sejarah telah mencatatkan bagaimana peran Freeport dibalik penjatuhan pemerintahan Soekarno serta teori konspirasi dibalik pembunuhan Presiden Amerika penolak gerakan freemasonry JF. Kennedy.

Apa yang dilakukan gerakan freemasonry untuk menguasai seluruh sumber daya alam dunia melalui perusahaan perusahaan besar dunia bisa dikatakan sebuah bentuk imprealisme modern dalam bidang ekonomi.

Disebut Imprealisme modern, karena kemampuan mereka untuk Free (bebas) melakukan intervensi serta mengacak acak sistem serta perpolitikan di negara yang memiliki sumber daya tersebut.

                            
   
Dan yang terjadi pada perpolitikan di Indonesia, tidak terlepas dari intervensi freeport didalamnya salah satunya penjatuhan pemerintahan Soekarno karena alasan rencana Nasionalisasi sektor tambang nasional termasuk tambang emas di Papua, Niat Nasionalisasi sektor tambang tersebut lah yang menyebabkan ‘jatuhnya’ era Soekarno dalam perpolitikan di Indonesia.

Freemasonry dengan Freeport dan perusahaan energi lainnya, kini banyak menguasai sumber sumber daya alam di dunia; dan bagi yang menghalangi, tentu akan mendapatkan efek negatif dari kekuatan super power negara negara barat seperti Amerika dan Inggris.

Sementara itu, Freeport juga adalah sumber pemberi dana terbesar untuk pendirian sebuah loji freemasonry terbesar di dunia atau lebih dikenal dengan nama Freeport Masonic Temple.

Sumber:

ih Bung Karno, para pejuang da

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22
Apa yang dilakukan oleh Soekarno, ketika Belanda mengingkari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Irian Jaya belum juga mau diserahkan kepada Indonesia ? Sejak satu tahun usai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, Indonesia selalu mengajak Belanda untuk berunding mengenai penyerahan wilayah yang masih dikuasasinya. Apa tanggapan Belanda ? Jelas, secara sengaja Belanda selalu menghindar untuk berunding. Jelas, Belanda hendak mengingkari janjinya sendiri dan berniat untuk terus menjadikan Irian Jaya sebagai bagian dari daerah kekuasaannya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22
Oleh Sri Endang Susetiawati Apa yang dilakukan oleh Soekarno, ketika Belanda mengingkari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Irian Jaya belum juga mau diserahkan kepada Indonesia ? Sejak satu tahun usai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, Indonesia selalu mengajak Belanda untuk berunding mengenai penyerahan wilayah yang masih dikuasasinya. Apa tanggapan Belanda ? Jelas, secara sengaja Belanda selalu menghindar untuk berunding. Jelas, Belanda hendak mengingkari janjinya sendiri dan berniat untuk terus menjadikan Irian Jaya sebagai bagian dari daerah kekuasaannya. 1. Melakukan Upaya Diplomasi di PBB Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan. Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) terkesan makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi. Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut. 2. Melakukan Aksi Lain dan Pemutusan Hubungan dengan Belanda Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif. Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960, Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya : “Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral ...... Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” 3. Menambah Kekuatan Militer dengan Membeli Banyak Senjata Berat Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari tangan Belanda. Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu sekutunya saat itu, yaitu Belanda. Maka, terjadilah pembelian persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara, antara lain Uni Sovyet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MIG-15, 49 pesawat buru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergapMIG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MIG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang kemudian diberi nama KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Iliyushin IL-28; 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16; dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B; 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules. Juga ditambah dengan memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. Kesemuanya itu, telah membuat militer RI menjadi yang terkuat di kawasan Asia pada saat itu. 4. Melakukan Konfrontasi Langsung, Menyerbu Irian Jaya Upaya serius inilah yang membuat AS mulai berfikir relistis. Sehingga, salah seorang diplomatnya melakukan insiatif untuk mengajukan usulan mengenai penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia dalam waktu dua tahun, setelah melalui penguasaan mandat PBB dan proses penentuan pendapat rakyat Irian Jaya. Apa reaksi Belanda ? Tetap saja keras kepala. Belanda tidak mau berubah dari posisinya, tidak mau menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia. Bahkan, Belanda hendak mendirikan sebuah negara boneka Papua di sana. Inilah yang membuat Soekarno begitu geram. Maka, dikeluarkanlah sebuah kebijakan bernama “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai : “Politik konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”. Inilah yang kemudian mendasari kebijakan penyusupan pasukan militer Indonesia secara besar-besaran ke Irian Jaya melalui operasi Trikora dalam Komando Mandala, dibawah pimpinan Mayjen Soeharto (mantan Presiden). Sebuah kenyataan yang sebelumnya jauh dari perkiraan Belanda, bahwa ternyata Indonesia bisa melakukan pendaratan pasukan di tanah Irian. 5. Belanda, Akhirnya Menyerah Inilah yang kemudian, pada akhirnya Belanda mau menyerah, dan mau berunding soal penyerahan Irian Jaya. Tepat 1 Mei 1963 Irian Jaya dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia melalui PBB (UNTEA). Setelah melalui rapat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung pada Maret-Agustus 1969, maka tepat pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Majelis Umum PBB menyetujui Irian Jaya kembali sebagai bagian wilayah NKRI yang sah. Terima kasih Bung Karno, para pejuang dan para pahlawan, warga Irian Jaya (Papua) dan seluruh rakyat Indonesia. Hingga kini wilayah itu masih utuh menjadi bagian dari NKRI yang kita cintai. IRIAN, Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Demikian, terima kasih Salam Persahabatan Srie Sumber tulisan : Karya Tulis “Aktualisai Semangat Pertempuran Laut Aru Dalam Mempertahankan Kedaulatan Wilayah NKRI” Oleh Sri Endang Susetiawati. Sumber gambar : Google.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22
Apa yang dilakukan oleh Soekarno, ketika Belanda mengingkari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Irian Jaya belum juga mau diserahkan kepada Indonesia ? Sejak satu tahun usai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, Indonesia selalu mengajak Belanda untuk berunding mengenai penyerahan wilayah yang masih dikuasasinya. Apa tanggapan Belanda ? Jelas, secara sengaja Belanda selalu menghindar untuk berunding. Jelas, Belanda hendak mengingkari janjinya sendiri dan berniat untuk terus menjadikan Irian Jaya sebagai bagian dari daerah kekuasaannya. 1. Melakukan Upaya Diplomasi di PBB Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan. Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) terkesan makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi. Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut. 2. Melakukan Aksi Lain dan Pemutusan Hubungan dengan Belanda Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif. Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960, Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya : “Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral ...... Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” 3. Menambah Kekuatan Militer dengan Membeli Banyak Senjata Berat Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari tangan Belanda. Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu sekutunya saat itu, yaitu Belanda. Maka, terjadilah pembelian persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara, antara lain Uni Sovyet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MIG-15, 49 pesawat buru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergapMIG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MIG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang kemudian diberi nama KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Iliyushin IL-28; 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16; dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B; 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules. Juga ditambah dengan memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. Kesemuanya itu, telah membuat militer RI menjadi yang terkuat di kawasan Asia pada saat itu. 4. Melakukan Konfrontasi Langsung, Menyerbu Irian Jaya Upaya serius inilah yang membuat AS mulai berfikir relistis. Sehingga, salah seorang diplomatnya melakukan insiatif untuk mengajukan usulan mengenai penyerahan Irian Jaya kepada Indonesia dalam waktu dua tahun, setelah melalui penguasaan mandat PBB dan proses penentuan pendapat rakyat Irian Jaya. Apa reaksi Belanda ? Tetap saja keras kepala. Belanda tidak mau berubah dari posisinya, tidak mau menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia. Bahkan, Belanda hendak mendirikan sebuah negara boneka Papua di sana. Inilah yang membuat Soekarno begitu geram. Maka, dikeluarkanlah sebuah kebijakan bernama “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai : “Politik konfrontasi disertai dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”. Inilah yang kemudian mendasari kebijakan penyusupan pasukan militer Indonesia secara besar-besaran ke Irian Jaya melalui operasi Trikora dalam Komando Mandala, dibawah pimpinan Mayjen Soeharto (mantan Presiden). Sebuah kenyataan yang sebelumnya jauh dari perkiraan Belanda, bahwa ternyata Indonesia bisa melakukan pendaratan pasukan di tanah Irian. 5. Belanda, Akhirnya Menyerah Inilah yang kemudian, pada akhirnya Belanda mau menyerah, dan mau berunding soal penyerahan Irian Jaya. Tepat 1 Mei 1963 Irian Jaya dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia melalui PBB (UNTEA). Setelah melalui rapat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung pada Maret-Agustus 1969, maka tepat pada tanggal 19 November 1969, secara resmi Majelis Umum PBB menyetujui Irian Jaya kembali sebagai bagian wilayah NKRI yang sah. Terima kasih Bung Karno, para pejuang dan para pahlawan, warga Irian Jaya (Papua) dan seluruh rakyat Indonesia. Hingga kini wilayah itu masih utuh menjadi bagian dari NKRI yang kita cintai. IRIAN, Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Demikian, terima kasih Salam Persahabatan Srie Sumber tulisan : Karya Tulis “Aktualisai Semangat Pertempuran Laut Aru Dalam Mempertahankan Kedaulatan Wilayah NKRI” Oleh Sri Endang Susetiawati.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22
Apa yang Dilakukan oleh Soekarno, Saat Merebut Irian Jaya ?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22
Apa yang Dilakukan oleh Soekarno, Saat Merebut Irian Jaya ?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22
Apa yang Dilakukan oleh Soekarno, Saat Merebut Irian Jaya ?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22
Apa yang Dilakukan oleh Soekarno, Saat Merebut Irian Jaya ?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/srie/apa-yang-dilakukan-oleh-soekarno-saat-merebut-irian-jaya_5500be548133116619fa7d22